IPOL.ID – Kejaksaan Agung terus mendalami dugaan tindak pidana korupsi terkait proyek pembangunan pabrik Blast Furnace (BFC) oleh PT Krakatau Steel pada 2011. Pendalaman itu kini dilakukan dengan memeriksa Direktur PT Zayan Putra Perkasa berinisial RM.
Pemeriksaan saksi RM digelar di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (30/6).
Dalam pemeriksaan, RM sempat dicecar oleh tim jaksa penyidik mengenai hubungannya dengan BFC Project selaku vendor PT Krakatau Engineering (KE). Hubungan dimaksud terkait 26 kontrak pekerjaan kontruksi area BFC dalam bentuk Job Order sebesar Rp 7.767.185.900.
Pasalnya, meski pekerjaan tersebut sudah selesai 100 persen, namun pembayaran yang dilakukan PT KE berdasarkan tagihan (invoice) hanya sebesar Rp 6.548.351.720.
“Sehingga terdapat selisih yang belum dibayar PT KE sampai dengan sekarang sebesar Rp 1.218.834.180,” jelas Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana di Jakarta, Kamis (30/6).
Ketut juga menyebutkan pemeriksaan dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan kasus tersebut.
Kasus ini berawal dari pembangunan pabrik BFC bahan bakar batubara oleh PT KS pada 2011-2019. Selain memajukan industri baja nasional, pembangunan pabrik BFC bertujuan agar biaya produksi lebih murah.
Pada 31 Maret 2011, PT KS kemudian melakukan lelang pengadaan pembangunan pabrik BFC. Dalam lelang tersebut, PT KS memenangkan Konsorsium MCC CERI dan PT Krakatau Engineering.
Adapun sumber pendanaan pembangunan pabrik BFC awalnya dibiayai bank ECA / Eksport Credit Agency dari China. Namun dalam pelaksanaannya, ECA tidak menyetujui pembiayaan proyek tersebut karena EBITDA (kinerja keuangan perusahaan) PT KS tidak memenuhi syarat.
Selanjutnya pihak PT KS mengajukan pinjaman ke sindikasi sejumlah perbankan lokal/nasional.
“Bahwa nilai kontrak setelah mengalami perubahan adalah Rp 6.921.409.421.190
Pembayaran yang telah dilaksanakan adalah sebesar Rp. 5.351.089.465.278 dengan rincian porsi luar negeri: Rp. 3.534.011.770.896,- dan porsi lokal Rp. 1.817.072.694.382,” papar Ketut.
Pada 19 Desember 2019, pekerjaan proyek dihentikan meski belum mencapai 100 persen. Alasannya karena biaya produksi lebih tinggi dari harga slab di pasar.
“Pekerjaan juga belum diserahterimakan dengan kondisi tidak dapat beroperasi lagi atau mangkrak,” tuturnya.
Atas hal itu, Kejagung menemukan adanya indikasi tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 jo Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.(ydh)