IPOL.ID – Kebijakan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, menggratiskan pajak bumi dan bangunan (PBB) pedesaan dan perkotaan (PBB-P2) dengan NJOP di bawah Rp 2 miliar, dinilai sejumlah anggota DPRD DKI hal biasa dan tidak tepat sasaran.
Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta, Gembong Warsono, menganggap kebijakan itu bukan suatu hal yang spektakuler.
“Bukan kebijakan yang spektakuler karena kebijakan itu sudah diambil oleh pemerintahan sebelumnya, hanya melanjutkan gitu lho,” kata Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono saat dihubungi, Selasa (14/6).
Menurut Gembong, kebijakan pengurangan PBB sudah ada di era Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi). Dia mengatakan Anies hanya memperluas kategori masyarakat yang mendapatkan keringanan pajak.
“Kalau soal siapa yang membebaskan pajak NJOP yang di bawah Rp 1 miliar dibebaskan, itu zaman Pak Jokowi, sudah ada,” ujarnya.
“Dia hanya meningkatkan saja dari jumlah Rp 1 miliar menjadi Rp 2 miliar. Jadi itu bukan kebijakan baru, jadi nggak ada hal yang luar biasa,” sambungnya.
Meski begitu, dia tetap mendukung kebijakan pembebasan PBB itu. Mengingat, kebijakan itu tak berdampak signifikan terhadap pendapatan daerah.
“Potensi pembayaran pajak di bawah Rp 2 miliar itu tidak terlalu signifikan karena yang Rp 1 miliar sudah jalan, naik sedikit dari angka Rp 2 miliar,” ungkapnya.
Terpisah, Ketua Fraksi PKB-PPP, Hasbiallah Ilyas justru menilai kebijakan Anies yang membebaskan PBB dengan NJOP di bawah Rp 2 miliar tidak tepat.
Sebab, kata dia, pemilik rumah yang wajib pajak dengan nominal NJOP tersebut termasuk masyarakat mampu atau kategori kelas menengah.
“Kita setuju untuk meringankan warga, tapi masyarakat kelas bawah ya. Kalau untuk menengah, enggak bisa dong,” ucap Hasbi saat dihubungi, wartawan, Selasa (14/6).
Hasbi menegaskan, PBB merupakan salah satu sumber pendapatan APBD yang cukup besar. Pada tahun ini, Pemprov DKI menargetkan pendapatan PBB hingga Rp 10,25 triliun. Dengan pembebasan PBB pada NJOP dengan nilai di bawah Rp 2 miliar, Hasbi mengkhawatirkan penerimaan daerah akan berkurang.
“Kalau kita lihat pendapatan saat ini kan sebetulnya belum layak untuk diterbitkan (pembebasan PBB NJOP),” beber Hasbi.
Dirinya pun khawatir, pendapatan DKI akan berkurang drastis, karena ekonomi Jakarta baru menggeliat. Mestinya juga Pemerintah DKI cari solusi lain untuk mendapatkan pemasukan dari pajak.
“Paling tidak, Pemprov harus mencari lagi dari mana pendapatan untuk pemasukan ke pemda,” paparnya.
Sebelumnya, Pemerintah DKI Jakarta memberikan insentif pembayaran pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan (PBB-P2). Hal ini tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 23 Tahun 2022.
Insentif tersebut salah satunya berupa pembebasan SPPT PBB 100 persen pada objek rumah tinggal dengan NJOP di bawah Rp 2 miliar.
Sementara, PBB dengan NJOP lebih dari Rp 2 Miliar diberikan faktor pengurang berdasarkan kebutuhan luas minimum lahan dan bangunan untuk rumah sederhana sehat, yaitu seluas 60 meter persegi untuk bumi dan 36 meter persegi untuk bangunan, dan pembebasan 10 persen. (pes)