IPOL.ID – Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengimbau agar wartawan memilah-milah narasumber (narsum) terkait kasus polisi tembak polisi yang menewaskan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J. Sebab, jika terdapat kesalahan dalam mengutip narasumber, maka akan berpotensi menimbulkan kegaduhan.
Menanggapi itu, llmuan Komunikasi Indonesia Emrus Sihombing mengatakan, wartawan dalam mencari sumber berita memang tak boleh sembarangan. Sumber berita harus sesuai dengan aspek jurnalistik. Artinya, sumber hanya dapat memberikan komentar yang sesuai dengan bidang kepakarannya.
“Saya setuju dan mengapresiasi dengan alasan, dari aspek jurnalistik bahwa setiap wartawan, media massa, harus melakukan seleksi ketat untuk narsum. Narsum harus punya skill di bidangnya, kredibel, dan dapat dipercaya. Sumber berita itu katakanlah peristiwa tabrakan dan lain-lain, bisa dong saksi mata, akan tetapi ketika orang mengomentari sesuatu maka sumber dari aspek jurnalistik itu harus kredibel serta dipercaya,” terang Emrus kepada ipol.id, Minggu (24/7).
Sumber itu, dikatakan Emrus, setidaknya harus menguasai bidang atau yang dibicarakan serta mempunyai otoritas keilmuan di bidang yang ditanggapi, termasuk memberi tanggapan hanya dari aspek kepakarannya.
“Baru kemudian dari aspek komunikasi yaitu ‘Siapa mengatakan apa’. Artinya, ‘siapa’ sumber berita itu menjadi penting dalam suatu proses komunikasi agar pesan itu informatif dan atau edukatif. Jadi, siapa sumber pesan itu menentukan kredibilitas pesan yang disampaikan” tukasnya.
Karena itu, Emrus sependapat dengan Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo yang menyatakan bahwa wartawan harus memilah-milah narsum terkait pemberitaan, khususnya terhadap pemberitaan kasus yang menewaskan Brigadir J.
“Saya sangat setuju itu, si sumber harus diseleksi. Jika tidak, pandangan-pandangannya selain tidak kredibel akan memunculkan opini-opini, persepsi menjadi liar yang boleh jadi menimbulkan suatu kegaduhan di ruang publik. Karena yang dilontarkan adalah asumsi-asumsi yang subyektif dan pasti multi prespektif,” imbuh Emrus.
“Karena itulah saya berpendapat apa yang dikatakan oleh Dedi Prasetyo (Kadiv Humas Polri). Saya sangat setuju dan dukung seratus persen sebagai ilmuan komunikasi. Saya bisa menerima itu karena sangat bagus, menurut saya sebagai komunikolog ilmuwan komunikasi,” ungkapnya.
Emrus juga berpendapat, sangat tepat peristiwa-peristiwa yang menjadi perhatian publik dibutuhkan sumber yang dapat mengurangi ketidakpastian.
“Jadi jangan sampai sumber itu menimbulkan ketidakpastian. Sebab, di dalam jurnalistik dikenal gate keeping process, termasuk penentuan sumber berita yang merupakan bagian dari keseluruhan proses redaksional,” katanya.
Apalagi suatu berita yang dilontarkan ke ruang publik apakah itu objektif ataupun subjektif tidak bisa ditarik kembali, karena tersimpan di peta kognisi khalayak. Oleh karena itulah maka wartawan dalam pemberitaan apapun harus menyeleksi sumber.
Seleksi sumber itu, menurut Emrus, bagian dari gate keeping process sebagaimana terdapat dalam teori jurnalistik.
“Jadi tujuan pemberitaan adalah mengurangi ketidakpastian maka berita menjadi informatif. Definisi informasi adalah sesuatu hal yang dapat mengurangi ketidakpastian, sehingga berita harus informatif, maka wajib berita itu berfungsi untuk mengurangi ketidakpastian. Saya sebut kata mengurangi ketidak pastian, bukan pasti karena tidak ada kepastian seratus persen di muka bumi,” tukasnya.
Emrus pun mengingatkan, fungsi media berdasarkan aspek jurnalistik adalah untuk mendidik, menghibur atau tidak membuat masyarakat stress. Sehingga masyarakat dalam melihat suatu persoalan menjadi tenang karena persoalan terselesaikan dan tidak menimbulkan social stress.
“Maka dari itu saya katakan orang-orang bekerja di jurnalistik atau media itu adalah orang hebat. Jadi, tidak boleh sembarangan menjadi seorang wartawan. Semua wartawan profesional orang hebat. Wartawan itu punya kemampuan luar biasa sehingga mereka punya tanggung jawab sosial untuk mendidik, mencerdaskan masyarakat, mengurangi ketidakpastian dan membuat masyarakat menjadi lebih nyaman, bukan menjadi stres membaca berita,” tutup dia. (ibl)