IPOL.ID – Deputi Pengembangan Pemuda Kemenpora, Asrorun Niam Sholeh, mengatakan, kepemimpinan Indonesia pada 2045, saat Indonesia berusia 100 tahun, ada di tangan anak muda hari ini yang rata-rata berusia 20 tahunan.
Hal tersebut disampaikan Asrorun Ni’am Sholeh di depan para santri saat berkunjung ke Pondok Pesantren Darul Falah Besongo Semarang, Jateng, Kamis (18/8). “Hidup dan mati itu ‘given’ tapi untuk menjadi sukses itu perlu adanya ikhtiar atau usaha kita untuk mewujudkannya. Demikian juga tentang perubahan sosial. Berubah itu sunnatullah, tetapi menjadi baik atau buruk adalah pilihan kita. Kita wajib memperjuangkannya,” kata pengasuh Pondok Pesantren An-Nadhlah Depok tersebut.
Oleh karena itu, lanjut dia, pemuda harus memiliki desain sebagai planning, perencanaan serta strategi untuk mewujudkan cita-cita itu. Sehingga waktu dan tenaga yang hilang bisa maksimal dan bermanfaat.
“Jangan sampai kita semua punya cita-cita yang abstrak atau tidak jelas. Hal ini diibaratkan seperti seorang penggembala yang meninggalkan kambingnya di padang rumput tanpa adanya arahan,” tandasnya.
Mengutip salah sebuah syair, Niam menjelaskan, engkau berharap sukses dan berhasil namun tak menempuh jalannya. Ketahuilah, tak ada kapal yang bisa berlayar di atas daratan.
“Tarjun Najata Walam Tasluk Masalikaha, Innas Safinata La Tajri Alal Yabasi. Kesuksesan itu harus dijemput dengan ikhtiar kita, bukan ditunggu dengan berdiam diri. Engkau berharap sukses dan berhasil namun tak menempuh jalannya. Ketahuilah, tak ada kapal yang bisa berlayar di atas daratan,” paparnya.
Dia menekankan, bulan Kemerdekaan Indonesia adalah suatu momentum untuk merefleksikan diri dan mensyukuri. Bagi generasi muda, memanfaatkan waktu dan kesempatan adalah salah satu cara mensyukurinya.
Meski sebagai pemuda kita dituntut untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial. Tapi jangan sampai aktivitas organisasi membuat kita terlena dari belajar formal (pengembangan kapasitas intelektual) yang sudah menjadi kewajiban kita.
“Orang sukses itu biasanya yang mampu menyeimbangkan antara keduanya. Baik organisasi maupun akademiknya,” tandasnya.
Dalam berorganisasi, kita sedang melakukan pemenuhan dengan kapasitas sosial atau interpersonal. Sedangkan dengan belajar formal termasuk peningkatan skill adalah kemampuan personal yang juga sangat diperlukan.
“Maka, sehebat apa pun kapasitas personal kita tapi kalau tidak punya media atau cara untuk menyampaikannya itu kurang sempurna. Dan kalau aktif berorganisasi tapi kurang kemampuan personal dan individunya juga akan rusak,” tambahnya.
Turut hadir dalam acara tersebut, Rektor UIN Walosongo Semarang Prof KH Imam Taufiq, Kepala LPM UIN Semarang, Segenap Pengasuh Pondok Pesantren Darul Falah Besongo juga Abdullah Mas’ud, Kepala Bidang Kepemudaan Kementerian Pemuda dan Olahraga. (ahmad)