Dalam audiensi tersebut, turut hadir Sekretaris Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek, Suhadi.
Selama ini, lanjut Zulfikri, ruang-ruang untuk muatan lokal belum digunakan secara optimal karena masih didominasi oleh faktor keseragaman, baik secara materi maupun kurikulum operasional sekolah. Satuan pendidikan masih ragu untuk membuat kurikulum yang berbeda dan beragam satu sama lain meskipun regulasi memberikan ruang yang cukup bagi daerah untuk mengangkat keunggulan lokal, kearifan lokal, dan segala keunikan lokal melalui Kurikulum Merdeka.
“Misalnya dalam kurikulum operasional satuan pendidikan. Di situ kurikulum harus menunjukkan warna dari satuan pendidikan. Warna itu bisa dari karakteristik daerahnya, bisa dari tradisi peserta didiknya, atau bisa dari sumber daya yang ada di sekitarnya. Jadi setiap sekolah punya ruang yang cukup besar untuk mengangkat kearifan lokal dan budaya lokal,” kata Zulfikri.
Zulfikri lalu kembali menegaskan bahwa muatan lokal bisa ditambahkan ke dalam Kurikulum Merdeka melalui tiga opsi, yaitu diintegrasikan ke mata pelajaran lain, melalui projek penguatan profil pelajar Pancasila, atau sebagai mata pelajaran sendiri selama dua jam.