IPOL.ID – Wakapolri Komjen Pol Gatot Eddy Pramono mengatakan, memasuki tahun ajaran baru, dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi harus terus meningkatkan kewaspadaan terhadap paham dan gerakan kekerasan.
“Terutama yang ditujukan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dengan legitimasi didasarkan pemahaman agama yang salah. Paham dan gerakan tersebut adalah intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme,” ungkap Gatot, Jumat (12/8).
Menurut dia, berdasarkan catatan Global Terrorism Index 2022, sepanjang tahun 2021 terdapat 5.226 aksi terorisme di seluruh dunia. Korban meninggal dunia berjatuhan akibat aksi tersebut mencapai 7.142 jiwa.
“Tidak sedikit dari jumlah itu, (korban) anak-anak, perempuan, dan golongan usia renta; hal ini menunjukkan bahwa terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan gerakan keagamaan,” sebut Wakapolri dalam keterangan tertulisnya.
Di Indonesia, lanjut Gatot, data yang dimiliki oleh Densus 88 terkait aksi terorisme dan penangkapan terhadap pelakunya menunjukkan angka yang tinggi. Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari penyebaran paham dan gerakan radikalisme dan intoleransi. Utamanya, menyasar kalangan anak-anak muda, termasuk yang masuk ke wilayah pendidikan.
“Dalam lima tahun terakhir ini saja, dunia pendidikan kita, khususnya kampus, masih menjadi incaran utama kelompok radikal-terorisme,” ungkapnya.
Jenderal bintang tiga itu menjelaskan, proses infiltrasi paham dan gerakan radikal dan ekstremisme masuk dengan berbagai cara, mulai dari menyusup di kegiatan-kegiatan keagamaan (CISForm, 2018), masjid-masjid kampus (INFID, 2018), dan persebaran buku-buku (PPIM, 2018).
Pola penyebarannya pun, diungkapnya, tidak lagi dilakukan hanya melalui medium dakwah dan forum-forum halaqah. Tetapi sudah merambah ke media sosial (cyber space) dan jalur-jalur pertemanan.
“Hasilnya, sebagaimana dilaporkan PPIM (2020), 24,89 persen mahasiswa Indonesia terindikasi memiliki sikap intoleran. Dari sumber lain, Alvara Research (2020) melaporkan 23,4 persen mahasiswa dan pelajar Indonesia mengaku anti-Pancasila dan malah pro khilafah. Data-data ini tentu mengkhawatirkan, tetapi bukan berarti tidak bisa kita kalahkan,” tegasnya.
Radikalisme adalah sikap atau mental yang menyetujui dan mendukung penggunaan aksi-aksi kekerasan untuk mencapai suatu tujuan.
Mantan Kapolri Jenderal Polisi (Purn), Muhammad Tito Karnavian, menjelaskan, seseorang dapat dicurigai terjangkit radikalisme apabila menunjukkan bentuk-bentuk aksi seperti mengapresiasi aksi terorisme. Tidak mengecam aksi terorisme, menunjukkan dukungan melalui unggahan di media sosial, mencurigai aksi teror sebagai rekayasa, dan sebagainya.
“Jika sikap dan pemahaman ini tidak segera diintervensi, sangat mungkin seseorang yang sudah radikal menjadi teroris. Yang bersangkutan bukan lagi mendukung dan menyetujui aksi-aksi kekerasan, tetapi sudah terlibat langsung menjadi pelaku atau eksekutor aksi-aksi kekerasan tersebut,” imbuh Gatot.
Hal yang harus dipahami bersama, sambung Gatot, radikalisme terjadi secara bertahap dan dengan kadar berbeda-beda. Umumnya, radikalisme bermula dari intoleransi, yakni sebuah pemahaman dan sikap menolak keberadaan kelompok lain, risih dengan perbedaan.
“Itu sebabnya, tidak sedikit pakar dan pengamat yang menyebut radikalisme ibarat sel tidur yang sewaktu-waktu dapat tergerak untuk melakukan aksi-aksi anarkis,” tutur Wakapolri. (Joesvicar Iqbal)