IPOL.ID – Persoalan mafia tanah di Indonesia hingga saat ini belum dapat diberantas. Namun demikian, permasalahan mafia tanah dapat diminimalisir. Salah satunya dengan cara mereformasi internal di Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI.
Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Junimart Girsang yang mengatakan bahwa Komisi II DPR sebagai fungsi pengawasan tentang percepatan pertanahan di Indonesia, dan yang menyangkut hal itu, sesungguhnya pada kasus mafia tanah diduga pelaku kejahatan itu sendiri berada di internal Kementerian ATR/BPN.
“Tentu masalah yang paling pokok pada kasus mafia tanah berada pada masalah internal di Kementerian ATR/BPN. Percuma jika belum ada reformasi diinternal Kementerian ATR BPN,” kata Junimart dalam diskusi media bertema 100 Hari Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto: Pemberantasan Mafia Tanah dan Janji Reforma Agraria di kawasan Jakarta Selatan, Senin (26/9).
Sebab, sambung Junimart, pernah dia bolak balik ke daerah menghadiri rapat keadilan soal kasus mafia tanah. Kendati dimenangkan di pengadilan. Walaupun surat yang dimiliki dalam bentuk Girik dan Profounding namun yang muncul Sertifikat.
Sesuai tema dalam diskusi media kali ini, menurutnya, menteri ATR/BPN yang menjabat saat ini masih dalam rangka pencitraan saja, berkunjung ke daerah-daerah.
“Banyak dari orang-orang kementerian yang tidak memiliki karakteristik bekerja menyelesaikan masalah di lapangan, sehingga Kementerian ATR/BPN masih memiliki banyak pekerjaan rumah (PR),” ujarnya.
Setidaknya, dia menemukan banyak kasus pertanahan yang tumpang tindih. Semisal, dua surat sama-sama sah. Lalu muncul pertanyaan bagaimana penerbitannya? Junimart menegaskan, kasus seperti itu ada banyak laporan ke Komisi II DPR RI, lalu bagaimana dengan persoalan Hak Guna Bangunan (HGB).
Diungkapnya, di Kabupaten Bekasi saja ada sebanyak 350 ribu kasus pertanahan, bisa di googling. Dan pertanyaannya siapa para pelakunya? Junimart menjelaskan bahwa diduga pelakunya ada pada internal di tubuh Kementerian ATR/BPN, di lingkungannya sendiri.
“Saya pernah bolak balik masuk perkantoran pertanahan, sampai memanggil kasienya, dan ini menyangkut Sumber Daya Manusia (SDM), menyangkut persoalan birokrasi,” paparnya.
Kemudian jika korban mengalami ada masalah tanah, mau kemana mengadunya? Lagi, Junimart mengatakan, persoalan ini jadi terstruktur, sistematis dan masif. Belum lagi ketika kasusnya masuk ke pengadilan maka masalah mafia peradilan juga ada, dan hakimnya itu-itu saja.
“Hakim yang fokus mengurus soal pertanahan itu belum ada saat ini, belum lagi ahli pertanahan yang harusnya dari Kementerian ATR/BPN,” tandasnya.
“Akhirnya muncul putusan yang kabur, makanya muncul Sertifikat tapi tidak ada barangnya. Ini menjadi PR bagi Pak Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto. Jadi bagaimana pihak Kementerian ATR/BPN melakukan sosialisasi apa dan bagaimana mengenai Sertifikat itu,” ujarnya.
Junimart menegaskan, kalau mau meminimalisir mafia tanah di Indonesia, jika mau mendukung program Pak Presiden RI Joko Widodo. Maka solusinya lakukan reformasi internal di birokrasi Kementerian ATR/BPN, evaluasi para dirjen, kakanwil, maupun kakanimnya.
Terkait kasus pertanahan, menurutnya, ada banyak keterlibatan. Apalagi sekarang banyak yang berpangkat dan pakai tongkat komando. “Jadi memberantas mafia tanah di Indonesia tidak bisa begitu saja, namun bagaimana meminimalisirnya,” tegasnya.
Kementerian ATR/BPN juga harus selektif, dan memberitahukan ketika ketahuan atau menemukan persoalan adanya mafia tanah ini. Dia pun berpesan kepada warga kalau ada yang mau pinjam Sertifikat. “Jangan dikasih”.
Berangkat dari permasalahan pertanahan, penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan.
Pada kesempatan yang sama, Juru Bicara Kementerian ATR/BPN RI, T. Hari Prihatono, memaparkan, saat ini banyak sekali kasus-kasus pertanahan seperti menerima Sertifikat yang diagunkan tapi tidak dicek, tanahnya pun tidak ada. Tentu menjadi persoalan.
Sebaliknya banyak penguasaan lahan dikuasai oleh perusahaan besar. Satu contoh, selama bertahun-tahun lahan dari 3 hektar namun yang digunakan hanya 2 hektar. “Sisanya 1 hektar lahan diduduki warga masyarakat. Ini menjadi masalah,” ungkapnya.
Nah, kemudian ada persoalan pertanahan di Jambi, tersingkirnya suku anak dalam. Pada 22 Juli hasil proses pengaduan dengan konflik yang panjang, hadir Pak Menteri ke Jambi dan per 30 Agustus 2022 itu dikembalikan. Perusahaan pun harus menyediakan lahan seluas 750 hektar.
Dalam konfleksitas, lanjutnya, tidak semua permasalahan pertanahan terselesaikan dalam 2 tahun. Bahkan kearifan lokal dapat menghilang akibat permasalahan pertanahan itu. Berkaitan sengketa, masing-masing memiliki fisik dan aktornya yang berbeda, yang terlibat beragam dan tidak mudah menelusurinya.
Dipaparkannya, sering kali publik kurang cukup memahami, tidak semua hal berkaitan permasalahan pertanahan tidak serta merta berkaitan dengan Kementerian BPN/Agraria. Diambil contoh, suatu lahan hutan kewenanganannya ada pada Kementerian Kehutanan.
“Kecuali tanahnya dialihkan menjadi tanah negara, lain halnya lagi yang dikuasai adalah perkebunan dan ini berkenaan dengan Kementerian BUMN,” terangnya.
“Untuk mempercepat proses-proses itu, semua harus ada MoU dengan Kementerian terkait,” tambahnya.
Berkaitan dengan pembangunan IKN, tugas Kemeterian ATR/BPN memberikan penyediaan struktur dan infrastruktur. Jangka pendek tahun ini atau prioritas membangun Istana dan strategis.
“Pemindahan Ibu Kota baru harus melihat pada infrastruktur pendukungnya, jika Aparatur Sipil Negara (ASN) sudah berkeluarga maka dibutuhkan fasilitas untuk pendidikan dan lain sebagainya. Dan hal ini tak telepas dengan kementerian, lembaga maupun elemen terkait lainnya,” paparnya.
Kedepan, katanya, Kementerian ATR/BPN masih memiliki banyak PR. Mafia pertanahan juga masih menjadi PR besar bagi Kementerian ATR.
“Audit secara fisik dan pemanfaatannya juga harus ada. Nah, di Kementerian BPN organisasinya vertikal harus dimaknai satu komando. Jadi institusi Kementerian BPN di tingkat kabupaten, kota, harus satu komando dengan Menteri BPN RI,” katanya.
Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah mengatakan, persoalan mafia tanah ini menjadi persoalan masuk angin. Dalam kinerja 100 hari Menteri ATR/BPN, saat ini mungkin pungli dan korupsi masih belum tersentuh.
“Untuk masalah mafia tanah ini, masyarakat juga harus diberikan informasi dan mendapatkan sosialisasi. Masyarakat harus dikasih tahu caranya seperti apa agar tidak tergoda mafia tanah. Paling tidak literasinya menjadi bagus, karena paling banyak terjadi permasalahan tanah itu di daerah-daerah. Terkait masalah ini, masyarakat juga harus dikasih tau sebabnya,” tutupnya. (Joesvicar Iqbal)