IPOL.ID – Belasan organisasi masyarakat sipil menyatakan dengan tegas menolak rencana pembuatan regulasi baru yakni Peraturan Presiden Peta Jalan Industri Hasil Tembakau (Perpres IHT), Jumat (7/10).
Advokad Senior Forum Warga Kota Indonesia (FAKTA), Tubagus Haryo Karbiyanto mengatakan, alasannya, Perpres itu dinilai bertentangan dengan regulasi yang ada. Bertolak belakang dengan cita-cita negara meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
“Perpres IHT ini secara substansi sama saja dengan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) tentang Peta Jalan Industri Hasil Tembakau (IHT) Tahun 2015-2020 yang sudah dicabut melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 16P/HUM/2016,” kata Tubagus pada ipol.id, Jumat (7/10).
Alasan pencabutan itu, menurut dia, karena Permenperin tentang Peta Jalan IHT Tahun 2015-2020 dinilai bertentangan dengan peraturan yang ada, yaitu UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
“Nah, rancangan Perpres Peta Jalan IHT ini menggunakan judul sebenarnya sudah dicabut sebelumnya oleh Mahkamah Agung (MA), secara substansi sama saja dengan Permenperin tentang Peta Jalan IHT karena sama-sama fokus meningkatkan produksi tembakau,” ujar Tubagus.
Pada Jumat (7/10) ini, 15 organisasi masyarakat sipil yang menolak terdiri dari Forum Warga Kota Indonesia (FAKTA), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Yayasan Lentera Anak (YLA), Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), Indonesia Institute for Social Development (IISD), Yayasan Pusaka Indonesia (YPI) Medan, Yayasan Kepedulian Untuk Anak (KAKAK) Surakarta, Yayasan Galang Anak Semesta (GAGAS) Mataram.
Kemudian Yayasan Ruang Anak Dunia (Ruandu) Sumatera Barat, Muhammadiyah Tobacco Control Center Universitas Muhammadiyah Magelang (MTCC Unimma), Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Center of Human & Economic Development Institut Teknologi & Bisnis Ahmad Dahlan (CHED ITB-AD).
Selanjutnya, Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI) dan Indonesian Youth Council for Tobacco Control (IYCTC).
Diketahui, dari sejumlah pemberitaan di media massa, saat ini Kemenko Perekonomian sedang merancang Perpres Peta Jalan Industri Hasil Tembakau (IHT). Dalam situs resmi Kemenko Perekonomian, dijelaskan mereka tengah menyusun Peta Jalan IHT.
“Tujuannya memberi kepastian dan kejelasan arah kebijakan industri hasil tembakau, termasuk kenaikan tarif cukai tembakau, diversifikasi produk tembakau, dan peningkatan kinerja ekspor tembakau,” tuturnya.
Sementara, Ketua Lentera Anak, Lisda Sundari, menilai Pemerintah tak sensitif menanggapi desakan masyarakat melindungi anak dari adiksi rokok. Sejumlah fakta membuktikan saat ini Indonesia berada pada kondisi darurat perokok anak, karena terus meningkatnya prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan prevalensi merokok usia 10-18 tahun meningkat sebesar 1,9 persen, dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen (2018).
“Seharusnya Pemerintah fokus menurunkan prevalensi perokok anak jadi 8,7 persen sesuai amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN 2020-2024, bukan justru giat melakukan berbagai upaya meningkatkan produksi dan konsumsi produk tembakau,” kata Lisda.
Senada dengan Lisda, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menegaskan, Pemerintah harusnya fokus melanjutkan proses amandemen PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, sebagai upaya Pemerintah melindungi masyarakat, khususnya anak-anak dari bahaya rokok dan target pemasaran industri rokok.
“Bukannya malah buat regulasi baru, menggunakan judul sebenarnya sudah ditolak MA, dan secara substansi sama Permenperin tentang Peta Jalan IHT yang sudah dicabut,” tandas Tulus.
Karena itu, 15 organisasi masyarakat sipil mewakili organisasi kesehatan, organisasi perlindungan konsumen, organisasi perlindungan anak, lembaga kajian dan riset, serta organisasi/gerakan kaum muda, mendesak Pemerintah.
Hentikan proses penyelesaian Perpres Peta Jalan IHT. Sebab, hanya berpihak pada kepentingan bisnis, dan tidak memperhatikan dampak buruk konsumsi tembakau bagi masyarakat, terutama generasi muda.
“Tren global menurunkan konsumsi rokok hingga negara-negara di dunia membuat peta jalan penurunan prevalensi perokok di negaranya dan bukan sebaliknya. Karena itu, kami mewakili 23 organisasi anggota dan mitra, menolak rencana Perpres Peta Jalan IHT dan mendesak Pemerintah kembali fokus melanjutkan proses amandemen PP 109/2012,” tegas Prof. Hasbullah Thabrany, Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau.
“Merujuk pada pilar Pembangunan Indonesia Emas 2045 dengan pilar utama pembangunan manusia, maka peta jalan IHT telah menciderai visi Indonesia 2045. Dari sisi ekonomi pilar pembangunan ekonomi berkelanjutan, maka pemerintah perlu mempertimbangkan dan mengevaluasi kembali Peta Jalan IHT. Alasan diversifikasi dan peningkatan kenaikan penerimaan cukai jadi tumpang tindih dengan regulasi yang ada pada Kementerian Keuangan,” tutup Roosita Meilani, Kepala Center of Human & Economic Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan. (Joesvicar Iqbal)