IPOL.ID – Aksi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) seakan tidak pernah habis. Ironisnya, tersangka dalam kasus ini kerap mendapatkan pengampunan dari korbannya, sehingga berujung pada perdamaian.
Seperti halnya Zatriawati alias Wati, tersangka KDRT asal Kejaksaan Negeri (Kejari) Palu. Wati dibebaskan dari segala tuntutan setelah mendapatkan pengampunan dari korbannya.
Hanya saja berbeda dengan mantan tersangka KDRT, Rizki Billar yang dibebaskan dari tuntutan saat perkaranya memasuki tahap penyidikan. Wati dibebaskan dari tuntutan setelah berkas perkaranya dinyatakan lengkap (P21) dan dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana membenarkan ihwal pembebasan tuntutan hukum tersangka KDRT, Zatriawati alias Wati.
Wati dibebaskan setelah permohonan penghentian penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif (restorative justice) disetujui oleh Jampidum, Fadil Zumhana.
“Permohonan restorative justice tersangka disetujui setelah melalui ekpose (gelar perkara) yang dihadiri oleh Jampidum, Direktur dan Koordinator Jampidum, Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan,” ujar Sumedana di Jakarta, Kamis (20/10).
Menurut dia, terdapat sejumlah alasan permohonan keadilan restorative justice seorang tersangka dapat disetujui oleh Jampidum. Di antaranya permohonan restorative justice tidak bertentangan dengan peraturan Kejaksaan RI No 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022.
Dalam aturan tersebut, salah satu poinnya telah dilasanakan proses perdamaian antara tersangka dengan korban.
“Poin lainnya, tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf,” papar Sumedana.
Selain itu, tersangka juga belum pernah dihukum dan baru pertama kali melakukan perbuatan pidana. Ancaman pidana denda atau penjara terhadap tersangka juga tidak lebih dari lima tahun.
Di sisi lain, tersangka berjanji tidak akan mengulangi perbuatan pidana. Proses perdamaian antara tersangka dengan korban dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.
“Tanpa mengurangi pertimbangan sosiologis dan masyarakat merespon positif, tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar,” tambah Sumedana.(Yudha Krastawan)