Selain menggunakan setelan yang terinspirasi Eropa, Sultan Mahmud II juga mengubah penggunaan serban para Sultan ‘Utsmani menjadi fez.
Penetapan penggunaan fez itu diilhami oleh pasukan maritim ‘Utsmani yang baru kembali dari daerah Maghribi (penyebutan awal Islam untuk daerah Barat/tempat matahari tenggelam yang saat ini meliputi negara Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya, Mauritania, dan wilayah sengketa Sahara Barat). Di daerah Maghribi inilah, kita akan dipertemukan dengan kota Fez, salah satu kota di Maroko yang kaya akan sejarah peradaban Islam.
Pada 1827, fez menjadi atribut resmi Asakir-i Mansure-i Muhammediye, pasukan baru yang dibentuk Sultan Mahmud II pasca pembubaran Janissari. Dua tahun kemudian, Sultan mewajibkan penggunaan fez untuk semua pejabat ‘Utsmani,[2] hingga akhirnya fez menjadi identitas yang melekat bagi kaum muslimin.
Al-Qawariyyin, Universitas Pertama di Dunia yang Berlokasi di Fez, Maroko
Sebagaimana dikutip dari literasiislam.com, kuatnya fez sebagai identitas kaum muslimin, bahkan menyebabkan Konsul ‘Utsmani terakhir di Batavia, yakni Hacı Aḥmet İbrahim Rasim Bey, mendapat perlakuan diskriminatif dari kondektur trem di Tanah Abang hanya karena ia memakai fez di kepalanya. Buku “Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda” juga mengungkapkan. Bahwa ciri khas yang mencolok dan berani ini, bahkan dikomentari oleh Justus van Maurik, penulis Belanda yang hadir dalam sebuah pesta di Istana Gubernur Jenderal Van der Wijck, Buitenzorg (Bogor), 1896,