Oleh: Arvindo Noviar
IPOL.ID – Polarisasi adalah masalah besar yang selalu menjadi efek utama dalam dua kali pemilihan presiden terakhir. Selain disebabkan oleh pasangan yang “disetel” menjadi dua pasang, calon-calon dari kedua kubu juga menunggangi dan menikmati buaian dukungan semu dari para pendengung yang saling menuding “cebong” di sisi yang satu dan “kampret/kadrun” di sisi diametralnya.
Pra-pencalonan kandidat Pilpres 2024 juga tidak lepas dari banalitas semacam itu. Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan adalah yang paling menikmati energi polarisasi itu. Alih-alih meredam dengan narasi persatuan, mereka justru menunggangi polarisasi sambil cengengesan seolah tidak tahu-menahu. Kendati energi polarisasi itu mengecil, tetapi polarisasi menjadi semakin mengkritstal di tangan mereka.
Maka dibutuhkan para calon pemimpin alternatif yang sadar bahwa pemilu adalah tempat persemaian ide, tempat di mana gagasan-gagasan besar diadu, dan tentu saja seluruh gagasan itu dimaksudkan untuk cita-cita yang luhur–––sebagai anak panah yang melesat ke masa depan. Pilpres bukanlah semata-mata tentang kekuasaan. Sebab kekuasaan seorang Presiden di Indonesia bersifat sementara dan sangat pendek. Presiden itu pegawai kontrak 5 tahunan belaka.