IPOL.ID – Melestarikan budaya leluhur bukanlah perkara mudah. Di balik gulungan benang berakhir menjadi sehelai tenun, Maria Sanam melalui berbagai kesulitan demi memperpanjang tradisi tenun ikat warna alam di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Maria Sanam merupakan seorang ibu pengrajin tenun berusia 50 tahun asal Desa Nekemunifeto, Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT. Pertemuannya dengan Perkumpulan Warna Alam Indonesia (Warlami) berhasil memperkenalkannya kembali dengan tradisi tenun ikat berwarna alam, tradisi yang sejatinya telah berusia cukup tua di daerah sana.
Tanggal 21 Februari 2023, pertama kalinya Maria menjejakkan kaki di Jakarta sekaligus luar kota. Jangankan pesawat dan hotel, kebutuhan dasar listrik dan internet adalah barang langka tak pernah dialami Maria di desanya. Di balik semua keterbatasan itu, Maria tak pernah putus membuat tenun ikat.
“Saat pertama kali sa (saya) naik pesawat, sa sangat merasa takut. Sa hanya berharap dengan Tuhan tolong sa sampai kota tujuan dengan selamat,” ucap Maria saat giat di BCA Expoversary 2023, ICE BSD, Tangerang.
“Tenun merupakan salah satu mata pencaharian sa, ini telah membantu sa membiayai anak sekolah sampai kuliah,” ujar Maria.
Maria sudah berkarya tenun ikat sejak di bangku kelas 3 SD, buah belajar dari kedua orang tuanya. Namun hampir sepanjang dia menenun, pewarna digunakan adalah pewarna sintetis, sebagaimana digunakan penenun lain di desanya. Bagi para penenun, menggunakan benang berwarna sintetis bisa dibilang pilihan masuk akal karena mudah diakses, murah, dan prosesnya cepat.
Sekretaris Jenderal Warlami Suroso menjelaskan bahwa pada mulanya masyarakat NTT, khususnya Timor Tengah Selatan telah menggunakan pewarna alam untuk tenun ikat. Tetapi kedatangan VOC dan hubungan perdagangan intens membuat penduduk setempat beralih ke pewarna sintetis.
“Tidak hanya di NTT, di mana saja di mana ada wastra, wastra itu kain adati berupa tenun, batik, dan segala macam, pasti sejak jaman dulu sudah menggunakan bahan pewarna alam. Tapi sejak masuknya bahan pewarna sintetis saat VOC masuk, orang-orang asing membawa bahan-bahan pewarna sintetis, secara perlajan mereka beralih ke bahan pewarna sintetis lebih cepat pemakaiannya, mudah, dan harganya lebih murah sehingga pewarna alam sebagian besar ditinggalkan,” terang Suroso.
Menggunakan benang berwarna alam memang bukan perkara mudah. Guna mendapatkan benang berwarna merah saja benang perlu diminyaki, direndam ke sejumlah bahan seperti kemiri, daun dadap, daun widuri, hingga simplokos, dan terakhir diwarnai akar mengkudu. “Proses pewarnaan itu bisa memakan waktu kurang lebih sebulan lamanya”.
Warlami bekerja sama dengan BCA menghubungkan kembali tradisi tenun berwarna alam ke komunitas penenun di Desa Nekemunifeto.
Suroso menambahkan, jadi pewarna alam bukan sesuatu hal baru bagi mereka. “Justru kami dari Warlami mengajak mereka kembali menggunakan tradisi dan teknik yang sebenarnya sudah ada di mereka”.
Sejak mendapat pelatihan dari Warlami pada Agustus 2022, Maria dan komunitas penenun di desanya sudah bisa memproduksi sejumlah tenun berkualitas tinggi. Harga jual satu tenun ikat berwarna alam motif pahat dapat dijual sekitar Rp3 juta.
Dari 30 pengrajin di sana, jumlah tenun ikat dapat dihasilkan sekitar 125 kain tenun pertahun, harga jual sekitar Rp325 juta. Maria sebagai salah seorang penenun dilatih oleh Warlami menyampaikan dapat membiayai anaknya berkuliah dan menghidupi kebutuhan keluarganya dengan cukup.
“Sa sangat berterima kepada program CSR Bakti BCA telah membantu sa dan para pengrajin lainnya memasarkan hasil tenun kami. Ini telah membantu para pengrajin tenun di Desa Nekemunifeto bisa melestarikan budaya tenun bangsa serta membantu perekonomian kami,” ucap Maria.
PT Bank Central Asia Tbk (BCA) sebagai perusahaan peduli akan kelestarian budaya luhur Indonesia berkomitmen mendukung kegiatan pembinaan penenun berwarna alam di Desa Nekemunifeto, NTT. “Wastra Nusantara merupakan bentuk warisan budaya sudah selayaknya mendapatkan perhatian khusus,” ujar Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja.
Lebih jauh, dia mengaku bahagia dapat mengajak Maria ke perhelatan BCA Expoversary 2023 di ICE BSD, Tangerang, selama 23-26 Februari 2023 memperkenalkan budaya tenun ikat berwarna alam ke masyarakat luas.
Jahja menyampaikan, BCA sangat gembira dapat membantu Ibu Maria dan komunitas pengrajin di Desa Nekemunifeto meneruskan tradisi tenun ikat berwarna alam. “Selain melestarikan tradisi, apa yang kami lakukan di Timor Tengah Selatan dapat turut membantu menggerakkan roda perekonomian setempat melalui produk tenun bernilai ekonomi tinggi dan ramah lingkungan,” kata dia didampingi Hera F Haryn, EVP Corporate Communication & Social Resposibility (CSR) BCA.
“Kami juga ingin memanfaatkan momen BCA Expoversary 2023 untuk mempromosikan dan mengedukasi nasabah dan masyarakat akan kekayaan budaya Indonesia yang sangat indah,” tutupnya. (Joesvicar Iqbal)