“Tenun merupakan salah satu mata pencaharian sa, ini telah membantu sa membiayai anak sekolah sampai kuliah,” ujar Maria.
Maria sudah berkarya tenun ikat sejak di bangku kelas 3 SD, buah belajar dari kedua orang tuanya. Namun hampir sepanjang dia menenun, pewarna digunakan adalah pewarna sintetis, sebagaimana digunakan penenun lain di desanya. Bagi para penenun, menggunakan benang berwarna sintetis bisa dibilang pilihan masuk akal karena mudah diakses, murah, dan prosesnya cepat.
Sekretaris Jenderal Warlami Suroso menjelaskan bahwa pada mulanya masyarakat NTT, khususnya Timor Tengah Selatan telah menggunakan pewarna alam untuk tenun ikat. Tetapi kedatangan VOC dan hubungan perdagangan intens membuat penduduk setempat beralih ke pewarna sintetis.
“Tidak hanya di NTT, di mana saja di mana ada wastra, wastra itu kain adati berupa tenun, batik, dan segala macam, pasti sejak jaman dulu sudah menggunakan bahan pewarna alam. Tapi sejak masuknya bahan pewarna sintetis saat VOC masuk, orang-orang asing membawa bahan-bahan pewarna sintetis, secara perlajan mereka beralih ke bahan pewarna sintetis lebih cepat pemakaiannya, mudah, dan harganya lebih murah sehingga pewarna alam sebagian besar ditinggalkan,” terang Suroso.