IPOL.ID – Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Ardian Sopa menyampaikan, satu tahun jelang pemilu 2024, hanya ada tiga partai memperoleh dukungan diatas 10 persen. Beberapa partai yang diduga pecah di internalnya berpengaruh terhadap perolehan dukungan.
“Ketiga partai yang perolehan dukungannya di atas 10 persen ada PDIP, Golkar dan Gerindra,” kata Ardian Sopa saat konfrensi pers Hasil Temuan dan Analisis Survei Nasional, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, “Partai Lama, Partai Baru, Partai Besar dan Partai Gurem,” di kantor LSI Jakarta Timur, Selasa (7/2).
PDIP ditempat teratas mendapat dukungan sebesar 22,7 persen, disusul Golkar yang dukungannya 13,8 persen, dan ketiga Gerindra dengan dukungan 11,2 persen. Ketiga partai ini berpeluang jadi pemenang di pemilu 2024. Karena pemilu presiden dan legislatif terjadi secara serentak. Partai yang mengajukan calon presiden (capres) paling populer berpeluang menjadi yang terbesar.
Terdapat empat partai (diluar PDIP, Golkar, Gerindra) perolehannya melebihi parliamentary threshold 4 persen, yaitu PKB, Demokrat, PKS, dan NasDem.
PKB mendapat dukungan sebesar 8,0 persen, Demokrat 5 persen, PKS dapat dukungan 4,9 persen, dan Nasdem 4,4 persen. Di luar tujuh partai di atas, partai-partai lain yang ikut pemilu di 2024, perlu berjuang ektra agar bisa lolos parliamentary threshold.
Semua partai baru (ikut baru pertama kali) masih menjadi Partai Nol Koma (dukungan di bawah 1%). Delapan Partai Nol Koma, yaitu PSI dukungannya hanya 0,5 persen, PBB, Partai Garuda, PU 0,3 persen, Hanura, Partai Buruh, Gelora, dan PKN hanya 0,1 persen.
Kedelapan partai tersebut dukungannya di bawah 1% sehingga dikategorikan sebagai Partai Nol Koma.
Ardian mengungkapkan, PDIP merupakan partai lama dan besar hampir sama dengan Golkar masuk sebelum reformasi. Disampaikan, peluang PDIP bakal hattrick (menang pemilu 3 kali berturut-turut jika memiliki capres populer). “Dalam artian (PDIP) tetap menjadi yang pertama ketika memiliki capres populer,” paparnya.
Temuan menarik, PDIP sebagai partai besar, kelahirannya sebelum reformasi, disusul Golkar. Sedangkan Gerindra partai besar, kelahirannya setelah reformasi.
PPP satu-satunya partai yang lahir sebelum reformasi tidak menjadi partai besar. Era reformasi di Indonesia dimulai pada tahun 1998, tepatnya pada saat Presiden RI ke-2 Soeharto mengundurkan diri pada Mei 1998.
Semua partai menengah lahir setelah reformasi (kecuali Gerindra yang menjadi partai besar). Gerindra lahir setelah reformasi dan menjadi partai besar dukungannya diatas 10%. PKB, PKS, Nasdem dan Demokrat partai menengah lahir setelah reformasi.
Semua partai kecil, pernah ikut pemilu minimal sekali pemilu. Perindo pernah ikut pemilu Tahun 2019 namun belum berhasil lolos parliamentary threshold. PPP mengikuti pemilu sebelum masa reformasi hingga sekarang berhasil mendapat kursi di setiap pemilu. PAN mengikuti pemilu setelah reformasi, berhasil mendapat kursi setiap pemilunya.
“Semua partai yang baru ikut pemilu pertama kali menjadi Partai Nol Koma”.
Partai Ummat dan Gelora pemilu pertamanya di 2024, PKN pemilu pertamanya di 2024. Dukungan terdapat tiga partai yang kali pertama ikut pemilu di 2024, saat ini dukungannya di bawah 1 persen.
Partai Ummat, lanjutnya, diduga ditengarai kumpulan dari orang-orang radikal dan syarat kepentingan. Seharusnya tingkat radikalnya harus diturunkan. “Meski 1 sampai 3 orang hanya ditengarai. Hubungannya ke Anies kalau konteksnya siapapun mendukung jika tidak tubrukan dengan aturan, sah-sah saja,” tandasnya.
Kemudian ada 5 besar capres potensial, tiga capres sebenarnya secara elektabilitas tinggi ada Ganjar, Anies dan Prabowo. “Namun jangan lupa selama populer jika tidak punya tiket akan percuma,” timpalnya.
Puan Maharani, sambungnya, tidak populer tapi mempunyai tiket dari partai. Dan pada masing-masing calon memiliki persoalan. Tapi bagaimana popularitasnya dapat dimaksimalkan. “Tentu Mbak Puan masih punya peluang meski popularitasnya kurang maksimal,” ungkapnya.
Kemudian apa yang salah pada Perindo, semua hal mengambil tokoh begitu banyak. Jika dibandingkan partai langganan masuk parlemen, melihat Perindo ditrack benar. Lahir sesudah reformasi hingga strateginya sudah tepat namun hanya intensitasnya.
“Kemenangan diperoleh dari capres yang tepat ke arah mana sehingga mendongkrak suara Perindo,” katanya.
Terkait perpecahan di beberapa internal partai, Ardian mengungkapkan, tentu dalam konteks persaingan apa yang terjadi dengan partai lain akan mengubah partai itu sendiri.
“PPP bisa jadi kenapa misalnya elektabilitasnya partainya kecil karena ada dua kasus besar mendera. Pertama dulu karena memang ada kasus, kedua ini tidak smooth karena pergantian ketua umum ada satu hal sehingga ketua umum berganti dan lain sebagainya. Hingga ini diterima PPP,” katanya.
“Kemudian PAN, tak bisa dipungkiri bahwa pendiri PAN Pak Amien Rais mendirikan partai juga. Meski sekarang perolehan dukungan belum tersedot banyak atau apa kedepannya bisa tersedot banyak tentu ini ada pengaruhnya. Karena bagaimanapun dua partai ini basisnya sama. Sehingga rebutan di basisnya tentu akan terjadi,” tambahnya.
Sama halnya PKS dan Gelora, suara PKS mungkin tidak bisa sebesar dulu jika misalnya PKS tidak bergerak secara masif dan seterusnya. “Jadi (perpecahan internal partai) ada pengaruhnya”.
Terdapat pula sejarah buruk partai baru. Partai Hanura pada pemilu pertamanya di 2009 berhasil lolos ke DPR sebagai partai kecil, perolehan dukungan sebesar 3,77 persen.
Pemilu keduanya di 2014, Hanura menjadi partai menengah dukungannya 5,26 persen. Pemilu 2019, Hanura tak lolos parliamentary threshold, tidak mendapatkan kursi di DPR.
PBB pada pemilu pertamanya di 1999, berhasil lolos DPR, begitu pula tahun keduanya ikut pemilu di 2004 lolos DPR. Tapi di 2009, 2014, 2019, PBB tak lolos parliamentary Threshold.
“Ini peringatan bagi PAN dan PPP yang hingga hari ini belum didukung minimal 4 persen,” tukasnya.
Jadi disimpulkan, partai yang kini lolos parliamentary threshold 4 persen adalah PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, Demokrat, PKS, NasDem. Bagi yang belum lolos parliamentary threshold harus mengandalkan kekuatan pengaruh personal calon anggota DPR.
Pendukung partai gurem umumnya dari pemilih yang tingkat kepuasannya pada kinerja pemerintah paling rendah. Golkar dan Gerindra hanya bisa mengalahkan PDIP jika memiliki capres lebih populer ketimbang capres PDIP.
“Dengan model pemilihan umum serentak, Pilpres dan Pileg sekaligus, beruntunglah partai yang memiliki capres sangat populer, dapat mendongkrak dukungan atas partai itu,” pungkasnya. (Joesvicar Iqbal/msb)