IPOL.ID – Musibah banjir, tanah longsor dan bencana lainnya, belakangan melanda sejumlah wilayah di Indonesia. Untuk itu, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menekankan soal pentingnya penguatan manajemen risiko bencana alam di Indonesia.
Sebagaimana instruksi dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada TNI, Polri, dan seluruh stakeholder terkait lainnya. Hal itu disampaikan Kapolri saat menjadi salah satu pemateri pada Rakornas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Kamis (2/3).
“Harapan Pak Presiden, kita memiliki manajemen risiko yang baik pada saat tahapan pra, pada saat tanggap darurat dan pascabencana akan semakin baik. Pak Presiden sudah menyampaikan bagaimana masalah bencana akibat climate change (perubahan iklim),” papar Sigit pada Rakornas BNPB di Jakarta, Kamis (2/3).
Manajemen risiko, sambung Kapolri, menjadi penting karena Indonesia merupakan negara memiliki historis bencana alam cukup besar. Seperti, tsunami Aceh, gempa bumi di Cianjur, bencana gunung merapi, maupun kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Faktor terjadinya bencana alam di Indonesia, salah satunya disebabkan terjadinya pergeseran sesar di wilayah tertentu, seperti sesar Sumatera, Palu-Koro, Matano, Cimandiri, Opak, Gorontalo, Sorong, Tarera Aiduna dan Yapen.
Tak hanya itu, kondisi geografis Indonesia ada di lingkaran api menjadi salah satu faktor terjadinya bencana. Kemudian, tiap tahunnya juga kerap terjadi fenomena El Nino dan La Nina.
“Jadi itu wilayah-wilayah di Indonesia yang tentunya kita harus memiliki kesiapan lebih. Namanya bencana terjadi sewaktu-waktu, namun paling penting bagaimana upaya kita melakukan persiapan. Sehingga pada saat terjadi, dampaknya bisa kita mitigasi seminimal mungkin,” imbuh Sigit.
Dalam penanganan bencana alam, Sigit mengungkap, seluruh pihak terkait dapat mengadopsi rumus yang dikeluarkan oleh UN Disaster Risk Reduction (UNDRR) untuk mengurangi dampak penyebab bencana alam.
“Salah satu perlu kita pahami bahwa ada rumus terkait bagaimana kita bisa mengurangi potensi dampak bencana rumusnya itu risiko (Risk), sama dengan (=), Hazard atau ancaman bencana, dan disitu dikalikan (x) vulnerability atau kerentanan masyarakat, dibagi (÷) capacity atau kemampuan mengatasi bencana,” papar Sigit.
“Artinya kalau kerentanan masyarakat bisa kita perkecil dan capacity bisa ditingkatkan maka risiko terjadi akibat dampak bencana bisa kita kurangi,” tambah Kapolri.
Dalam penanganan bencana alam, diperlukan penguatan sinergitas dan kolaborasi antara Pemerintah, TNI, Polri, BNPB, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Basarnas dan stakeholder masyarakat lainnya.
“Utamanya menguatkan sinergitas kolaborasi seluruh stakeholder, TNI, Polri, Pemerintah, BMKG, BNPB, Basarnas menyatukan kemampuan dan kekuatan. Sehingga bisa mempersiapkan dan memperkuat apa yang jadi kebijakan Pak Presiden terkait kemampuan memanajemen risiko, memiliki resiliensi kuat menghadapi bencana,” tukasnya.
Lebih dalam, ditegaskannya, sejak awal Polri telah memasukan kebijakan penanganan bencana alam ke dalam strategi konsep transformasi dituangkan dalam transformasi operasional.
Adanya hal tersebut, orang nomor satu di institusi Polri itu menginstruksikan kepada seluruh jajarannya terus melakukan upaya-upaya manajemen risiko bencana alam. Mulai pencegahan, sosialisasi, penyuluhan, edukasi, memberikan panduan, hingga Quick Response bersama stakeholder terkait.
Menurutnya, dengan kesiapan dan cepatnya respon jajaran Polri di wilayah bencana, merupakan bentuk representasi hadirnya negara di tengah masyarakat.
“Ini harus dilakukan dan dipersiapkan khususnya di wilayah memang rentan terjadi bencana. Tolong dicek begitu ada peristiwa bagaimana rekan-rekan simulasi, melatih secepatnya bisa datang dan SOP yang disiapkan dan apa saja kita lakukan,” tegas Sigit.
Soal penanganan bencana alam, Sigit menyatakan, personel kepolisian harus mampu berperan baik sebelum terjadinya bencana, ketika terjadi, dan setelah bencana terjadi. Saat masa tanggap darurat, Polri harus menyiapkan personel terbaiknya melakukan penyelamatan.
Kemudian evakuasi, identifikasi melalui DVI, membuat tenda darurat, dapur lapangan hingga menyiapkan sarana dan prasarana penunjang.
Pascabencana, jajaran Polri harus menyiapkan langkah konkret seperti psikologi sosial, trauma healing, layanan kesehatan, dan menggelar patroli di wilayah tersebut.
Tahap prabencana atau sebelum kejadian, Sigit menekankan, harus dilakukan upaya edukasi, bisa melalui konten video, bekerjasama dengan media, dan penguatan peran Bhabinkamtibmas menyampaikan sosialisasi ke masyarakat.
Polri bersama stakeholder terkait juga harus memanfaatkan perkembangan teknologi informasi (TI). Dalam hal ini Polri telah membentuk 91 Command Center yang bisa diadopsi seluruh Polda.
“Terkait karhutla kembangkan terus aplikasi ASAP Digital Nasional. Menjadi penting didalamnya kita memiliki CCTV Live Auto Monitoring bisa memonitor jarak 8 kilo, berputar 360 derajat, ada sensor, bisa menampilkan suhu udara. Bisa dapatkan update titik api selama lima menit. Terpenting adalah posisi pergerakan personel dilapangan bisa termonitor,” pungkas Kapolri. (Joesvicar Iqbal)