Dia menyimpulkan dari proses kasus Kanjuruhan membuktikan betapa buruknya hukum dan penegakan keadilan di Indonesia, dan mencurigai adanya strategi untuk mempetieskan kasus itu. Hal ini menurutnya terlihat dari proses otopsi yang menyimpulkan bahwa kematian korban bukan karena gas air mata tetapi akibat pemukulan.
Kesimpulan hasil investigasi TGIPF sebelumnya adalah 135 korban tewas karena gas air mata dan polisi bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Para korban tewas dalam desak-desakan maut usai laga Arema FC vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022.
Akmal semula menyangka hasil penyelidikan TGIPF, yang berisi temuan fakta dalam tragedi itu, akan dijadikan rujukan oleh majelis hakim dalam menentukan vonis kepada terdakwa, tetapi ternyata tidak.
Dia mencontohkan bagaimana di halaman 96 dalam laporan TGIPF disebutkan bahwa dari hasil pengamatan rekaman CCTV, anggota Brimob menembakan gas air mata pertama kali ke tribun penonton pada pukul 22.09 WIB. Padahal, saat itu aparat keamanan tidak dalam keadaan terancam oleh penonton.