Terus terang saja, monolog dalam hati seperti itu sempat terjadi pada diri hamba berkali-kali. Pergi ke mesjid, tidak? Tapi hal ini terjadi sudah lama sebelum ada ketetapan hati. Kiwari, hujan tidak hujan, hujan kecil atau besar, hamba sudah memutuskan bakal berangkat ke mesjid. Baru dicoba secuil itu saja, masak kecut, sementarara nikmat Allah tiada terkirakan. Malulah hamba kepada Sang Kuasa andai cuma lantaran hujan tak sholat subuh di mesjid.
Walaupun faktanya memang sholat subuh di mesjid kala hujan tak gampang. Mau minta “pembantu rumah tangga,” membantu kita, dia sendiri pun belum bangun. Lagipula kasihanlah, dia harus bangun subuh sementara nanti sudah banyak pekerjaan lainnya, apalagi kalau pembantunya perempuan.
Biasanya andai hujan besar, diiringi juga angin. Kalau sudah begini, tidak mungkin kita memakai payung kecil. Selain air hujan bakal mengenai tubuh kita dari samping dan belakang, payung yang kecil sendiri dapat terbang ditiup angin. Jadi, harus payung besar.
Memakai payung besar di tengah hujan angin, sejak membuka dan menutup pintu pagar rumah pun tak sesederhana yang dibayangkan orang.
Pagar yang terkunci, harus dibuka. Lantas pintu pagar yang lebih dari dua meter di rumah hamba harus didorong untuk dibuka. Lantas harus ditutup lagi. Dikunci lagi. Kalau tidak memegang payung besar, sebenarnya sih amat mudah melakukannya, tapi jika tangan kita sedang memegang payung besar, menimbulkan kesulitan tersendiri. Payung dapat betubrukan dengan pagar.