Korupsi di Indonesia sebagai extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa itu sudah merambah di segala lini, baik darat. laut dan udara atau dengan kata lain Indonesia itu sudah layaknya seperti hutan belantaranya korupsi, oleh karena itu diperlukan cara-cara yang luar biasa (extra ordinary way) untuk menghentikannya dari bumi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kewenangan penyidikan yang diberikan kepada Kejaksaan, termasuk kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh para pembentuk UU sebenarnya merupakan ikhtiar normatif yang dilakukan oleh Bangsa Indonesia untuk menjadikan Negara Indonesia yang bebas dari korupsi.
Sebagai negara yang tingkat kejahatan korupsinya sangat tinggi, sehingga dikatakan sebagai “hutan belantaranya korupsi” pemberantasannya tidak akan dapat dilakukan dengan cara-cara konvensional, misalnya kewenangan penyidikan hanya diberikan kepada satu lembaga Kepolisian saja. Oleh karena itu pemberian kewenangan penyidikan kepada 3 (tiga) lembaga penegak hukum memiliki dasar argumentasi yang rasional dan sangat empirical , yakni Kepolisian, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g UU No 2 Tahun 2002. Kejaksaan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 6 huruf e UU No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.