IPOL.ID – Indonesia Police Wacth (IPW) meminta Bareskrim Polri menolak permintaan penghentian penyidikan kasus dugaan pidana perusahaan tambang batubara PT Batuah Energi Prima (BEP), yang diajukan melalui penerapan restorative justice, dengan dalih telah telah terjadi perdamaian antara para pihak yang berperkara.
Menurut IPW, Bareskrim Polri justru harus segera menetapkan tersangka dalam kasus tersebut. Sekaligus menahannya untuk mencegah terjadinya perintangan penyidikan (obstruction of justice), antara lain dengan memakai modus playing victim.
“Meskipun penerapan restorative justice dimungkinkan berdasarkan ketentuan Perpol No 08 Tahun 2021, namun perdamaian antara pihak yang berperkara dalam kasus PT BEP yang berujung permintaan penghentian penyidikan itu, tak lebih merupakan upaya pengelabuan terhadap lembaga kepolisian, dengan mensarea ingin mengamankan hasil kejahatan barang milik negara berupa batubara yang masih ada di dalam perut bumi untuk dibagi-bagi antar kedua pihak yang nota bene adalah sama-sama pelaku kejahatan. Oleh karena itu, IPW mendesak Bareskrim Polri menolak dengan tegas permintaan penghentian penyidikan, dengan mempertimbangkan adanya kepentingan umum yang lebih luas yang perlu dijaga dalam perkara pidana PT BEP ini, yang diduga telah merugikan negara sekitar Rp. 8,435 triliun. Seharusnya iup op PT BEP dicabut oleh Menteri ESDM RI,” ujar Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso kepada wartawan di Jakarta, Kamis (8/6).
Berdasarkan catatan IPW, PT BEP pernah jatuh ke dalam genggaman residivis lalu terlempar kedalam pelukan terlapor perkara pidana. Bermula tatkala pada 13 Juli 2011, HBK, seorang mantan narapidana yang berstatus residivis, melalui Permata Resources Group mendapat fasilitas kredit sebesar USD 17,627,937 yang kini berstatus macet kolektibilitas tingkat 5 dan/atau non-performing loan (NPL). Penggunaannya diduga disimpangkan untuk membeli 95 persen saham PT BEP. Motif HBK menguasai mayoritas PT BEP bertujuan agar dapat membobol PT Bank Niaga TBK sebesar USD 70 juta, dengan menjaminkan barang milik negara berupa IUP OP PT. BEP No: 540/688/IUP-OP/MB-OP/MB-PBAT/III/2010 yang dikeluarkan Bupati Kutai Kartanegara tanggal 3 Maret 2010, yang batubaranya masih ada di dalam perut bumi. Pada tahun 2012, HBK kembali membobol PT Bank Bukopin Tbk sebesar Rp 650 miliar. Tak lama kemudian HBK dipidana melakukan penipuan terhadap pengusaha Putra Mas Agung sebesar USD 38,000,000,- dan Rp500 miliar.
Catatan kejahatan lainnya, selaku pemilik PT Nusantara Terminal Coal, HBK tercatat hingga sekarang kurang bayar DHPB sebesar Rp. 919,144 milyar. PNBP – Penggunaan Kawasan Hutan sebesar Rp21,189 miliar. Jaminan reklamasi sebesar Rp18,223 miliar. Iuran Tetap (dead rent) sebesar Rp3,9 miliar. Dan ngemplang pajak sebesar Rp 134,334 miliar. Sehingga pada fase PT BEP dikelola HBK telah merugikan negara dan swasta sebesar Rp 3,166 triliun.
Pada tahun 2016, dalam perkara penipuan No: 521/Pid.B/2016/PN.JKT.Pst jo putusan MARI No: 1442/Pid.B/2016/PN.Jkt.Pst, HBK divonis 4 tahun penjara. Dan pada tanggal 8 Juli 2021, kembali divonis 4 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara penipuan yang lain, atas laporan pengusaha Putra Mas Agung.
Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Golkar, Ridwan Hisjam mendukung pendapat IPW. Menurutnya, Bareskrim Polri harus mengabaikan permintaan penghentian kasus dugaan pidana PT. BEP, dengan alasan adanya perdamaian antara pelapor dan terlapor. Dan ternyata peristiwa tersebut ibarat perdamaian antara “Begal dan Garong” yang keduanya sebagai pelaku kejahatan.
“Saya sudah mempelajari kasusnya, terdapat kejahatan yang dilakukan secara berlanjut, yang merugikan negara trilunan rupiah. Dan saya sudah usulkan kep-ada Menteri ESDM dan Menteri Investasi/Kepala BKPM, agar IUP OP PT. Batuah Energi Prima dicabut” tukasnya lagi.(Msb/Yudha Krastawan)