Berbagai contoh yang ada dari mindset komunalitas ini misalnya seperti gairah untuk mengekspor gagasan Islam Indonesia ke dunia internasional, padahal masalah substansial di dalam negeri sendiri banyak yang belum selesai.
Di sisi lain, mudahnya bangsa Indonesia terkecoh oleh sosok yang dikategorikan sebagai pemimpin merakyat lewat retorika dan pembentukan narasi, padahal rekam jejaknya tidak memadai.
“Di era medsos itu orang gak berbuat apa-apa di pasar, hanya nampang saja, (kebetulan) tokoh, lalu wah (disebut) merakyat. Padahal cuma lewat. Dia gak memberdayakan orang yang ada di pasar itu untuk berubah dari kelas UMKM menjadi kelas menengah ke atas. Cuma lewat atau mampir ke tukang pecel tanpa mengubah nasib tukang pecel itu yang dia tetap menderita di tengah glamoritas tokoh atau siapapun dia yang memperoleh keuntungan dari (kapitalisasi) kemiskinan itu,” kritik Haedar.
“Tapi orang Indonesia kan suka yang gitu-gitu kan? (lalu terkesan) Wah ini tokoh yang merakyat. Padahal, tokoh yang merakyat seharusnya yang bisa mengubah nasib rakyat secara signifikan sehingga dia menjadi lebih sejahtera,” imbuhnya.