IPOL.ID – Penolakan Rafael Alun Trisambodo (RAT), ayah Mario Dandy Satriyo untuk membayar restitusi Rp120 miliar kepada DO yang menjadi korban penganiayaan oleh anaknya, menunjukkan tidak ada itikad baik dan bentuk “lepas tangan” Rafael atas perbuatan pidana yang didakwakan kepada anaknya, Mario Dandy.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Edwin Partogi Pasaribu mengatakan, penolakan Rafael Alun, ayah pelaku untuk membayar restitusi atas perbuatan anaknya itu dapat menjadi pertimbangan jaksa penuntut umum untuk memaksimalkan tuntutan pidana terhadap Mario Dandy.
Selain itu, sambung Edwin, penolakan yang disampaikan RAT juga dapat menjadi pijakan hakim memaksimalkan hukuman pidana terhadap Mario Dandy. “Selain itu jaksa dan hakim dapat melakukan upaya paksa sita eksekusi terhadap aset milik MD maupun RAT untuk membayar restitusi,” ujar Edwin pada awak media di Jakarta Timur, Selasa (26/7) siang.
Putusan sita paksa eksekusi terhadap aset terdakwa jika tidak dapat membayar restitusi, dapat dilihat dalam putusan hakim dalam perkara terhadap anak sebelumnya, seperti pada Putusan PT Bandung: 58/PID.SUS/2023/PT.BDG tanggal 21 Februari 2023, atau Putusan PN Majalengka Nomor: 213/Pid.Sus/2022/PN Mjl.
Edwin menilai hakim dapat membebankan subsider pengganti restitusi berupa kurungan apabila harta tidak ada atau kurang untuk pembayaran restitusi atau pencabutan hak-hak narapidana selama terpidana tidak membayar restitusi tersebut. “Jadi dalam beberapa putusan restitusi, hakim telah menerapkan sita eksekusi bahkan memutuskan nilai (restitusi) lebih tinggi dibandingkan hasil penilaian kerugian yang disampaikan LPSK,” ungkap dia.
Edwin menambahkan, soal putusan hakim yang memutuskan restitusi lebih tinggi di banding penilaian LPSK dapat dilihat pada putusan PN Tuban 7 Juni 2023: Nomor Perkara 26/Pid.Sus/2023/PN. Tbn.
Menurut dia, restitusi adalah kewajiban pelaku/pihak ketiga untuk membayar kerugian yang ditimbulkan kepada korbannya akibat tindak pidana.
“Hukuman pidana terhadap pelaku tidak berkonsekuensi terhadap pemulihan (kerugian) yang dialami korban. Karena itu, restitusi menjadi kewajiban pelaku untuk membayar,” tegas Edwin.
Soal pihak ketiga sebagai pembayar restitusi juga bukan suatu hal baru, hal itu telah diterapkan pada perkara pelaku anak dan perkara perkara perdagangan orang di Tual, Maluku, PT. Silversea (PT. Pusaka Benjina Raya, perusahaan di Indonesia). Pihak ketiga yang dimaksud haruslah pihak jelas hubungan hukumnya dengan pelaku.
Edwin menyoroti adanya keterangan dari orangtua DO Jonathan Latumahina pada akhir Februari lalu, tentang kedatangan orang tua MD yang menyampaikan permohonan maaf sekaligus menawarkan bantuan pengobatan bagi DO.
“Jika sekarang RAT menolak membayar restitusi, itu merupakan bentuk ‘lepas tangan’ dari orang tua pelaku,” tutup dia. (Joesvicar Iqbal)