Di sisi lain, narasumber berikutnya Guru Besar FISIP UGM Purwo Santoso menjelaskan, ketika otonomi daerah tidak berjalan, maka ada kesalahan dalam memikirkan sistem. Sehingga ketika sistem yang diidealkan atau yang disebut sebagai otonomi luas belum terwujud, maka masih ada inkonsistensi baik dalam konsep maupun implementasinya.
“Angan-angan untuk menghadirkan otonomi yang lebih baik ke depan itu tergantung pada pemikiran, dan pemikiran itu bisa diwadahi dan disalurkan lewat MIPI, maka redefinisi atau penegasan fungsi MIPI itu penting,” ujarnya.
Dalam paparannya dia menekankan, kekeliruan dalam mewacanakan otonomi daerah, baik dalam narasi maupun naskah akademik akan membuat wacana tersebut semakin terdisorientasi. Sesi ketujuh terkait otonomi daerah ini, dia merefleksikan pada dirinya sendiri dan MIPI untuk lebih jelas dalam menancapkan misinya membangun otonomi daerah.
“MIPI harus menjadi think tank atau jejaring think tank dari hulu ke hilir, dari pusat ke daerah dan ruang berpikir yang jernih, itu lalu kemudian memungkinkan kita ketika di kantor dalam posisi resmi, membuat keputusan. Itu sadar bahwa ini potensinya masih dislocated, sehingga tidak perlu mengabsolutkan hukum,” tandasnya.(Muhamad Solihin)