IPOL.ID- Presiden Rusia Vladimir Putin disebut-sebut sedang mengalami pemberontakan baru.
Setelah sebelumnya pengumuman pemberontakan diberikan kelompok Korps Sukarelawan Rusia (RVC) dan Wagner, kali ini pergolakan pecah di wilayah Krimea, yang dianeksasi dari Ukraina 2014 lalu.
Mengutip Newsweek, Rabu (2/8/2023), Direktorat Utama Intelijen Ukraina (GUR) melaporkan konfrontasi yang “berkembang” antara penduduk Krimea yang pro-Ukraina dan militer Rusia. GUR menulis di saluran Telegramnya bahwa penduduk ini secara sistematis menyerang pangkalan militer Rusia dengan bom molotov di Krimea.
GUR mencatat penahanan dan penangkapan massa telah terjadi sebagai akibatnya. Mereka mengatakan bahwa sebagian besar dari yang ditangkap adalah perwakilan dari orang-orang Tatar Krimea, etnis minoritas Muslim yang berasal dari wilayah tersebut.
Hal ini pun mendapat tanggapan pengamat. Jason Jay Smart, mengatakan bahwa informasi ini menunjukan Krimea bukanlah benteng dukungan pro-Moskow, berbeda seperti yang sering dikatakan Rusia kepada dunia
“Kenyataannya adalah bahwa ada banyak orang di sana yang menentang penjajah Rusia dan menyadari bahwa waktu pembebasan mereka mungkin sudah dekat dan terus mengambil bagian dalam mengusir kekuatan militer asing,” katanya.
Klaim kerusuhan di Krimea itu terjadi lebih dari sebulan setelah Kelompok Wagner tentara bayaran Rusia mencoba memberontak melawan Moskow pada akhir Juni. Meski pemberontakan gagal, banyak pengamat yang mencirikannya sebagai salah satu tantangan langsung terbesar terhadap kekuasaan Putin.
“Masalah Putin menjadi semakin diperparah tidak hanya oleh perang di luar negeri tetapi juga oleh partisan domestik yang berusaha untuk membuang ‘kuning telur’ Kremlin,” tambah Smart merujuk aksi melawan pemerintah.
Sementara itu, Putin juga dihadapkan pada perbedaan pendapat di dalam negeri setelah Rusia dilanda serangkaian serangan baru-baru ini terhadap kantor pendaftaran militer. Tercatat, percobaan serangan pembakaran pusat pendaftaran militer dilaporkan terjadi di St. Petersburg, Kazan, wilayah Moskow dan lokasi lainnya.
“Setidaknya sembilan kantor seperti itu telah menjadi sasaran para pelaku pembakaran sejak Sabtu,” menurut sebuah berita oleh The Moscow Times.
Meski begitu, Professor Mark N. Katz dari George Mason University Schar School of Policy and Government mengatakan bahwa walau ada laporan seperti itu, sangat sulit untuk mengetahui seberapa luas penentangan terhadap Rusia di Krimea. Apalagi kelompok warga lain di sana, sebagian besar penduduk Tatar Ukraina dan Krimea, sudah pergi pada saat aneksasi sembilan tahun lalu.
“Sebagian besar penduduk Ukraina Rusia atau pro-Rusia yang tersisa dilaporkan memberikan suara yang sangat besar untuk mendukung aneksasi dalam referendum yang diadakan tahun itu,” katanya.
Namun ia memang menegaskan bahwa Krimea akan menjadi isu alot antara Rusia dan Ukraina. Pasalnya, penduduk wilayah itu sudah terbagi antara pro-Kyiv dan pro-Moskow.
“Masa depan Krimea akan menjadi salah satu masalah paling sulit untuk diselesaikan karena Rusia dan Ukraina mengklaimnya, sebagian besar penduduk mungkin ingin tetap bersama Rusia, tetapi sebagian besar penduduk yang melarikan diri ingin kembali ke Krimea milik Ukraina,” tambahnya.
Diketahui Krimea awalnya adalah bagian dari Ukraina. Namun Rusia menganeksasi dengan mengadakan referendum yang memenangkan klausul bergabung dengan Moskow.
Hal tersebut mendapat kecaman global. Sejumlah negara terutama Barat, memberikan sejumlah sanksi ke Rusia sebagai akibatnya. (bam)