IPOL.ID – Ekonomi global saat ini sedang mengalami ketidakpastian akibat pengaruh kebijakan suku bunga The Fed, harga minyak dunia naik, dan efek perang berkepanjangan antara Rusia dan Ukraina.
Hantaman telak harga minyak sedang naik, salah satunya minyak mentah berjangka Brent menjadi 92,06 dolar AS per barel atau naik sekitar 1,42 dolar AS.
The Fed diproyeksikan bakal tetap mempertahankan suku bunga pada kisaran 5,25%-5,50%. Terlebih imbas perang Rusia-Ukraina masih memaksa suplai komoditi menjadi lebih terbatas. Lalu bagaimana kata pengamat ekonomi melihat persoalan itu?
Peneliti dari Pusat Ekonomi Makro dan Keuangan INDEF, Abdul Manap Pulungan mengatakan, gejolak ekonomi dunia itu memberikan pengaruh yang berbeda di tiap negara. Seperti dalam kenaikan harga minyak dunia.
Menurutnya, memang telah menjadi perhatian di berbagai pihak, namun dampaknya bagi setiap negara akan berbeda-beda. Termasuk Indonesia.
“Misalnya di Amerika, tentu itu akan berbeda dengan Inggris dan Eropa. Amerika hanya bermasalah diinflasi, sedangkan di sisi tingkat pengangguran, Amerika terbilang cukup bagus sehingga tekanan harga minyak global itu akan relatif minor bagi Amerika,” kata Abdul dalam Talkshow Tumbuh Makna bertema ‘Outlook Ekonomi Dunia dan Pengaruhnya Bagi Indonesia’, di Jakarta.
Tetapi bagi negara yang situasinya berbeda seperti Inggris dan negara-negara Eropa lainnya. Dampaknya akan lebih terasa karena negara-negara tersebut memiliki masalah tingkat inflasi tinggi dan pengangguran juga tinggi.
Meski begitu, Abdul menjelaskan, kenaikan harga minyak tersebut bukanlah faktor satu-satunya yang mendorong terjadinya gejolak ekonomi global. Namun terdapat faktor lain menyertainya, yaitu perang Rusia-Ukraina.
“Saya melihat kenaikan harga minyak ini sebetulnya temporer saja, tidak akan signifikan seperti Tahun 2022,” ujarnya.
Terkait kebijakan suku bunga The Fed, Abdul mengungkapkan bahwa bank sentral AS itu memiliki pengaruh kuat untuk mengubah situasi ekonomi global.
“Ketika The Fed mengubah suku bunganya tentu akan diikuti negara lain. The Fed adalah leader di pasar keuangan global. Jadi, apa yang dilakukan The Fed umumnya akan diikuti bank sentral lainnya, karena The Fed menjadi benchmark bagi negara-negara lain untuk suku bunganya. Oleh karena itu, ada istilah saat The Fed bersin maka negara-negara lain bakal mabok,” imbuhnya.
Bagaimana nasib Indonesia, dan dampak gejolak ekonomi dunia di Indonesia? Abdul meyakini bahwa Indonesia akan mampu melewati situasi gejolak tersebut. Mengingat Indonesia pernah melewati situasi tekanan ekonomi lebih sulit.
Hanya saja, Indonesia menurutnya, perlu melakukan penyesuaian secara mendalam dan melakukan langkah-langkah strategis agar turbulensi ekonomi dunia tidak mendorong hal terburuk terjadi di tingkat domestik.
“Saya melihat, Indonesia siap menghadapi gejolak ekonomi global. Karena Indonesia sudah pernah melewati situasi lebih buruk. Tinggal bagaimana kita melakukan penyesuaian internal dari kenaikan harga minyak itu. Sebenarnya sudah banyak wacana-wacana berkembang terkait meningkatkan diversifikasi produksi yang tak hanya terbatas pada bahan-bahan mentah seperti minyak, tetapi bisa shifting ke energi terbarukan,” ujarnya.
Abdul menekankan, mesti ada kebijakan strategis untuk menekan negara-negara produsen minyak, agar kedepan pembatasan produksi minyak dunia dapat dikontrol sebagaimana mestinya.
Terlebih di dalam negeri, kenaikan harga minyak dunia tentu dapat mendorong pemerintah Indonesia dalam menaikan harga BBM. Hal tersebut dapat dilakukan demi merawat fiskal agar tetap defisit di bawah 3%.
Sementara, Founder Tumbuh Makna, Muliadi San menganalisis lebih jauh mengenai kekuatan ekonomi Indonesia. Dia menjelaskan bahwa dalam konteks pertumbuhan ekonomi Indonesia, khususnya dalam perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), tergolong cukup stabil merespons gejolak ekonomi dunia belakangan ini.
“Saya melihat valuasi IHSG kita cenderung atraktif. Kami telah mengumpulkan data di berbagai tahun,” ungkap Muliadi.
Berdasar data dari 2013 sampai 2022, pada September, IHSG ada di zona merah sebanyak 6 tahun dari 10 tahun. Artinya, di bulan September, IHSG cenderung mengalami koreksi.
“Oktober, IHSG kita selama 8 tahun ada di zona hijau, dan hanya 2 tahun berada di zona merah. Jadi probabilitasnya di Oktober IHSG mengalami kenaikan. Secara statistik hal ini cukup menarik untuk pasar saham kita di sisa bulan semester II 2023,” jelasnya.
Menurutnya, terdapat peluang baik di sisi ekonomi lain di Indonesia. Dalam analisanya, justru bisa dimanfaatkan dengan baik dan rasional oleh berbagai investor. Namun, para investor tentu harus memahami profil risiko masing-masing sebelum mengambil keputusan berinvestasi.
Contohnya, melakukan strategi pendekatan profil risiko agar dapat melakukan investasi secara kondusif dan aman.
“Saya melihat 12 bulan ke depan sentimen pasar akan lebih kondusif dan konstruktif. Sisi kondusif disini terlihat karena adanya faktor risiko perubahan moneter dan fiskal akan lebih minim. Jadi pertimbangan sektor dan kelas aset yang lebih diuntungkan untuk diterapkan di portofolio bakal lebih mudah diprediksi”.
Pada sisi konstruktif memiliki arti bahwa akan ada hal baik dan prospektif di dalam sektor IHSG. Ini terlihat karena pertumbuhan laba perusahaan-perusahaan di Indonesia masih cukup positif.
“Itu yang buat kami bertahan dengan pandangan bahwa IHSG masih berpotensi capai level 7.400, dengan pertimbangan EPS growth di angka 9%-10%,” bebernya.
Dia menambahkan, obligasi dengan durasi tenor menengah bisa menjadi pilihan tepat bagi para investor, karena itu salah satu pilihan menarik di Tahun 2024.
“Jika melihat data-data yang ada, tentu saya sangat optimis saat ini, khususnya dengan obligasi-obligasi tenor menengah, hingga dapat menjadi satu pilihan menarik bagi para investor,” ujarnya.
Sedangkan untuk investor cenderung konservatif, bisa melihat peluang pada Sukuk Ritel 019 yang telah diterbitkan Kementerian Keuangan. Dapat membantu progres kegiatan investasi dan mendorong pemerintah melakukan perkembangan ekonomi nasional. (Joesvicar Iqbal)