Oleh karena itu, kekeliruan tersebut pun diluruskan sehingga hak atas tanah itu masih dimiliki oleh perusahaan sebagaimana SK yang dikeluarkan pada 2001 dan 2002.
“Proses pengosongan tanah inilah yang sekarang menjadi sumber keributan. Bukan hak atas tanahnya, bukan hak guna usahanya, bukan. Tapi proses, karena itu sudah lama, sudah belasan tahun orang di situ tiba-tiba harus pergi. Meskipun, menurut hukum tidak boleh, karena itu ada haknya orang, kecuali lewat dalam waktu tertentu yang lebih dari 20 tahun,” ungakapnya.
Dalam kesempatan yang sama, saat ditanya mengenai status tanah yang kemungkinan merupakan tanah ulayat, Mahfud mengaku tidak mengetahui itu.
Jika memang ada tanah ulayat di Pulau Rempang, Mahfud menyebut kemungkinan datanya ada di Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Terkait kekeliruan yang diduga dilakukan KLHK, Mahfud menjelaskan terdapat lima hingga enam surat keputusan yang dikeluarkan pihak kementerian tetapi itu telah dibatalkan.