IPOL.ID – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu diberi kewenangan lebih luas agar koruptor lebih jera. Kewenangan yang dimaksud yakni dalam fungsi penilaian dan penetapan kerugian negara. Khususnya dengan memasukkan unsur biaya sosial korupsi.
Demikian hal tersebut mengemuka dalam Ujian Terbuka disertasi sarjana doktoral, Maju Posko Simbolon, di Kampus UKI Cawang Jakarta pada Kamis (26/10/2023). Menurut Maju, kerugian yang disebut biaya sosial korupsi ini tidak setimpal dengan hukuman dan denda yang dibebankan kepada pelaku korupsi.
“Konsep penanggulangan tindak pidana korupsi (tipikor) yang dapat dilakukan oleh KPK di masa yang akan datang adalah dengan menerapkan biaya sosial kejahatan dan biaya sosial korupsi, sehingga ranah pemulihan atau penggantian dari tindak pidana korupsi tidak semata pada keuangan negara, tetapi pada ranah yang lebih luas yaitu menyentuh tata kehidupan masyarakat,” papar Maju Posko Simbolon.
Biaya sosial korupsi sendiri bisa diartikan sebagai dampak kerugian dari perilaku korupsi yang membebani keuangan negara. Dampak ini timbul bukan hanya sebatas nominal uang yang dikorupsi, tapi segala biaya yang harus dibayar negara karena perilaku korupsi tersebut. Biaya ini termasuk ongkos pencegahan korupsi, proses hukum pelaku korupsi mulai dari penyelidikan, penyidikan, hingga pengadilan, bahkan biaya untuk menghidupi koruptor di penjara.
Untuk itu Maju menilai pemerintah perlu merevisi UU No19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kewenangan yang lebih luas, khususnya untuk KPK dalam fungsi penilaian dan penetapan kerugian negara guna tercapainya peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan,” ujar Maju Posko Simbolon.
Maju menilai, revisi aturan undang-undang diperlukan agar dapat mengakomodir biaya sesuai kejahatan dan biaya sosial korupsi dalam sanksi pemidanaan sehingga menimbulkan efek jera terhadap pelaku serta memberikan pendidikan hukum bagi masyarakat dan memulihkan kerugian negara.
Dalam isi disertasinya Maju Posko Simbolon juga menjelaskan bahwa konsep kerugian negara yang dinilai dan ditetapkan oleh KPK adalah dengan mengkualifikasikan keberadaan keuangan negara sehingga diperoleh kesimpulan telah terjadi kerugian negara.
KPK sendiri akan melakukan perhitungan pendahuluan yang secara simultan berkoordinasi dengan BPKP. Hal ini sesuai ketentuan pasal 6 huruf a Undang-Undang No 30 Tahun 2002 sebagaimana diubah Undang-Undang No 19 tahun 2009 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dalam sidang ujian terbuka ini, hadir dewan penguji. Di antaranya Rektor UKI, Dr. Dhaniswara K. Harjono SH, MH, MBA, Prof. Dr. John Pieris SH, MH, MS, Prof. Dr. Mompang L. Panggabean SH, M.Hum, Prof. Dr. Angkasa SH, M.Hum, Prof. Dr. Supanto SH, MH, Prof. Dr. Chontina Siahaan SH, M.Si dan Dr. Maruarar Siahaaan SH.
Dalam pembacaan yudisium oleh dewan penguji Dr. Dhaniswara K. Harjono menyatakan bahwa promovendus Maju Posko Simbolon telah lulus sidang promosi Doktor dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,82 yakni predikat sangat memuaskan. Selanjutnya Dr. Maju Posko Simbolon SH, MH menjadi lulusan Doktor ke 14 yang dihasilkan Program Studi Hukum Program Doktor dan lulusan Doktor ke 22 di Universitas Kristen Indonesia. (tim)