IPOL.ID – Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Kementerian Kesehatan, Eva Susanti mengungkapkan penyakit kardiovaskular yaitu jantung dan stroke merupakan salah satu penyakit tidak menular yang perlu mendapatkan perhatian khusus karena berperan utama sebagai penyebab kematian nomor satu di dunia. Di Indonesia penyakit kardiovaskular menyebabkan lebih dari 651 ribu kematian per tahun berdasarkan laporan Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) tahun 2019.
“Terdiri dari stroke ada 331 ribu lebih kematian dan penyakit jantung koroner ada sekitar 245 ribuan kematian. Kemudian penyakit jantung hipertensi ada sekitar 50 ribu lebih kematian juga diikuti dengan beberapa penyakit kardiovaskular lainnya,” kata Eva Susanti dalam Temu Media Hari Jantung Sedunia baru-baru ini.
Penyakit jantung dan stroke pada tahun 2022 menjadi penyakit dengan pembiayaan terbesar yang ditanggung oleh Jaminan Kesehatan Nasional yaitu Rp15,37 triliun dari total pembiayaan penyakit katastropik sebesar Rp24,96 triliun. Penyakit katastropik adalah penyakit yang mengancam nyawa dan membutuhkan pengobatan yang besar serta proses yang lama.
Pada 2021 jumlah kasus penyakit jantung sebanyak 12,93 juta yang meningkat menjadi 15,5 juta kasus pada 2022, sedangkan penyakit stroke juga mengalami peningkatan dari 1,99 juta kasus pada tahun 2021 menjadi 2,54 juta kasus pada 2022.
Kenaikan kasus tersebut, menurut Eva, dipengaruhi oleh pola hidup tidak sehat yang meningkatkan faktor risiko penyakit kardiovaskuler seperti konsumsi gula, garam dan lemak yang tinggi, kebiasaan merokok, kurang aktivitas dan konsumsi alkohol.
“Sekitar 70 juta masyarakat Indonesia itu mengonsumsi rokok, ini sangat besar jumlahnya dan kita merupakan negara dengan konsumsi rokok tertinggi di dunia. Ini juga masyarakat Indonesia lebih 79 persen kurang aktivitas fisik dan masih ada juga yang mengonsumsi alkohol,” jelas Eva Susanti.
Dorong Masyarakat Lakukan Deteksi Dini
Kementerian Kesehatan, menurut Eva, mendorong 140 juta masyarakat Indonesia usia 15 tahun ke atas untuk melakukan deteksi dini penyakit tidak menular di fasilitas pelayanan kesehatan seperti di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) secara cuma-cuma.
“Tahun ini kita menginginkan 70 persen masyarakat Indonesia umur 15 tahun ke atas semuanya melakukan screening atau deteksi dini untuk bisa menemukan kasusnya lebih awal, kemudian tata laksananya nanti bisa lebih baik dan biayanya akan bisa ditekan lebih murah,” jelas Eva.
Upaya deteksi dini penyakit tidak menular itu dilakukan melalui pemeriksaan tekanan darah, gula darah, lingkar perut, hipertensi, diabetes dan obesitas sentral. Diakuinya capaian orang yang di deteksi dini tersebut baru mencapai 30,6 juta orang per 23 September 2023.
Stres dan Kurang Tidur Meningkatkan Risiko Penyakit Jantung
Praktisi Kesehatan Masyarakat, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, Erta Priadi Wirawijaya mengatakan faktor risiko penyakit jantung dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu faktor risiko yang tidak bisa diubah diantaranya kecenderungan peningkatan potensi penyakit jantung seiring bertambahnya usia, jenis kelamin dan riwayat jantung dalam keluarga. Tetapi ada pula yang dapat diubah
“Namun, ada faktor risiko tradisional yang bisa kita ubah, merokok adalah salah satunya dan –menghindari- ini adalah langkah pertama yang perlu diambil jika Anda merokok. Selain itu, perbaikan pola makan dengan menghindari makanan tinggi lemaknya, gula, dan garam sangat penting. Kurangnya aktivitas fisik juga menjadi salah satu faktor risiko terjadinya penyakit jantung,” ujarnya.
Ditambahkannya, stres yang berkepanjangan dapat meningkatkan risiko penyakit jantung karena dapat mempengaruhi tekanan darah, detak jantung dan meningkatkan peradangan dalam tubuh. Selain itu risiko penyakit jantung juga dapat dipengaruhi kuantitas dan kualitas tidur yang kurang. Orang dewasa sebaiknya tidur setidaknya tujuh jam sehari.
“Kurang dari ini risiko penyakit jantung meningkat,” jelas Erta Priadi.
Masyarakat dianjurkan melakukan deteksi dini penyakit jantung lewat pemeriksaan kesehatan rutin setiap tahun di fasilitas kesehatan primer seperti puskesmas, klinik atau dokter umum. (voa indonesia / tim)