“Tindakan-tindakan asusila dari sekelompok orang di media sosial awalnya kan mencari-cari perhatian. Gadis kesepian cari perhatian jejaka, gara-gara butuh atensi maka apa aja dilakukan. Tools-nya mudah dan cepat sekarang ini, bentengnya cuma rasa malu dan keimanan seseorang,” kata ayah dari 3 orang anak yang juga lulusan pesantren ini melanjutkan.
Menurut Sirod, negara-negara yang disebut maju dan menjadi rujukan banyak orang hampir punya sisi kelam sekulerisme, karena hanya mengandalkan logika dan kekuatan politik yang ada. Sementara kaum cerdik pandai dan ulama-nya “ikut-ikutan” melacurkan diri terlalu jauh dalam adu kuat pengaruh politik praktis sehingga sulit mencari tokoh yang benar-benar intelektual dan dapat menengahi banyak kepentingan.
Maka ia mengajak para pihak untuk lebih mawas diri dan tidak terlalu larut dalam arus pertentangan politik sementara marabahaya pada kaum muda sudah menganga di depan mata. Jika keluarga tidak menjadi lagi sandaran, maka anak-anak muda yang mestinya cemerlang ini akan menyandarkan hidup mereka pada industri yang mereka geluti, dan cilakanya industri tak punya hati dan tak punya kasih sayang untuk membiarkan mereka menjadi manusia-manusia berbudi luhur. Kapitalisme yang sekuler akan memaksa seorang istri lupa melayani suami, ayah terlalu sibuk di luar rumah, sementara anak-anak menjadi objek buruk internet.