Di sisi lain, Jaksa Utama Muda pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung (Kejagung), Robert Parlindungan Sitinjak, menegaskan, penanganan kasus kekerasan seksual tidak boleh diselesaikan secara damai.
Menurut dia, ini sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Untuk itu, kata dia, proses hukum kasus-kasus kekerasan seksual harus mengacu pada UU TPKS sehingga pelaku mendapatkan sanksi hukum, korban bisa direhabilitasi, dan mendapatkan uang restitusi.
“UU TPKS ini membantu. Di samping pelakunya dihukum, korbannya dapat rehabilitasi, bahkan dapat uang restitusi ganti rugi supaya dia bisa kembali ke kehidupannya,” katanya, melansir Antara.
Dia menambahkan, UU TPKS telah berlaku sejak disahkan pada 9 Mei 2022, meskipun peraturan turunannya belum terbit.
Dalam kesempatan tersebut, turut hadir beberapa narasumber yang berpengalaman dan kompeten di bidangnya pada sesi diskusi panel, seperti AKBP Ema Rahmawati dari Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri yang berbagi kisah terkait peran penyidik dalam memberikan perlindungan terhadap korban KDRT dengan memperhatikan nilai kemanusiaan.