IPOL.ID – Lembaga survei Nusantara Strategic Network (NSN) mencatat elektabilitas Partai Gerindra dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengalami kenaikan signifikan.
Gerindra dalam survei NSN tercatat meraih elektabilitas 18,8 persen pada Desember 2023. Sedangkan PDIP melorot ke peringkat kedua sebesar 16,3 persen.
“Gerindra tercatat menyalip PDIP sejak survei pada bulan November 2023 lalu, menggeser PDIP yang sebelumnya masih unggul,” kata Direktur Program NSN Huslidar Riandi dalam keterangannya dikutip Selasa (2/1).
Pada survei bulan Oktober 2023 elektabilitas PDIP mencapai 17,5 persen, sedangkan Gerindra masih 15,4 persen.
PDIP mengalami penurunan menjadi 17,2 persen pada November 2023, sebaliknya Gerindra naik menjadi 17,6 persen. Kini posisinya berbalik, Gerindra unggul dan disusul PDIP.
Selain Gerindra, partai lain yang mengalami kenaikan elektabilitas adalah PSI. Pada Oktober 2023 lalu elektabilitas PSI baru menembus 4,2 persen, lalu naik menjadi 5,4 persen (November 2023), dan kini mencapai 6,1 persen.
“PDIP melorot ke peringkat kedua, tersalip oleh Gerindra yang bersama PSI mengalami kenaikan elektabilitas yang cukup signifikan,” kata dia.
Menurut Riandi, pudarnya pamor PDIP terkait erat dengan perpecahan antara Presiden Jokowi dengan ketua umum Megawati Soekarnoputri dalam menyikapi gelaran Pilpres 2024.
Sebelumnya PDIP adalah partai pengusung Jokowi hingga menang dua kali pemilu, yaitu pada 2014 dan 2019.
Kemenangan PDIP yang paling spektakuler tercapai pada pemilu pertama pasca-reformasi (1999), yang mencapai lebih dari 30 persen. Berikutnya pemenang pemilu berganti-ganti, yaitu Golkar (2004) dan Demokrat (2009).
Keputusan PDIP mengusung Jokowi alih-alih Megawati pada Pilpres 2014 mengerek peringkat partai berlambang kepala banteng itu dari posisi tiga besar menjadi pemenang pemilu.
PDIP berhasil mempertahankan posisi pada 2019 sekaligus memecahkan rekor, menang berturut-turut.
“Kini tampaknya tekad PDIP untuk bisa mencetak hattrick atau menang ketiga kalinya pada Pemilu 2024 bakal kandas,” ujar Riandi.
Posisi PDIP terancam oleh Gerindra, di mana kedua partai tersebut mengalami hubungan pasang-surut dalam beberapa kali pemilu.
PDIP dan Gerindra pernah sama-sama menjadi oposisi selama dua periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
PDIP dan Gerindra pula yang menaikkan karier politik Jokowi dari Solo ke panggung ibukota, melalui Pilkada DKI Jakarta pada 2012 silam.
Koalisi keduanya pecah ketika Jokowi yang diusung PDIP berhadapan dengan ketua umum Gerindra Prabowo Subianto pada Pilpres 2014.
Rivalitas keduanya terulang lagi pada 2019, hingga kemudian Jokowi menawarkan rekonsiliasi dan mengajak Prabowo bergabung ke dalam pemerintahan.
Setelah sama-sama berada di dalam pemerintahan, kini hubungan antara PDIP dan Gerindra kembali mengalami keretakan.
Masing-masing mengusung pasangan capres-cawapres, di mana Jokowi yang merupakan tokoh PDIP lebih mendukung Prabowo ketimbang Ganjar Pranowo.
Dukungan Jokowi terhadap Prabowo memberikan insentif elektoral bagi Gerindra, dan sebaliknya menurunkan elektabilitas PDIP.
“Terjadi migrasi pemilih Jokowi dengan kecenderungan untuk mengalihkan suaranya kepada Gerindra, sehingga elektabilitasnya naik signifikan,” jelas Riandi.
Pada Pemilu 2014 dan 2019, perolehan suara Gerindra hanya berkisar 13 persen, tetapi sekarang berpeluang naik mendekati 20 persen.
Sementara PDIP yang sebelumnya stabil pada kisaran 19 persen bisa jadi merosot, kembali pada perolehan suara pada Pemilu 2009 yang hanya 14 persen.
Buah manis coattail effect Pilpres tidak hanya dirasakan Gerindra, tetapi juga PSI.
“Asosiasi kuat PSI dengan Jokowi berimbas pada lonjakan elektabilitas, di mana PSI gencar mengkampanyekan diri sebagai partai Jokowi dan menggaungkan spirit Jokowisme,” terang Riandi.
PSI menunjuk Kaesang Pangarep yang merupakan putera Jokowi sebagai ketua umum pada akhir September 2023, hingga mengerek elektabilitas menembus ambang batas parlemen sebesar 4 persen.
PSI lalu memberikan dukungan kepada pasangan Prabowo-Gibran pada arena Pilpres.
Sementara itu partai-partai lain cenderung masih stabil, di antaranya Golkar yang masih menduduki posisi tiga besar dengan elektabilitas 8,8 persen. Menyusul pada urutan berikutnya ada PKB (7,4 persen), Demokrat (7,2 persen), dan PKS (4,4 persen).
Partai-partai lain meraih elektabilitas di bawah 4 persen, meskipun masih berpeluang lolos jika memperhitungkan margin of error. Di antaranya ada PAN (3,2 persen), Nasdem (2,6 persen), PPP (2,0 persen), Perindo (1,7 persen), dan Gelora (1,2 persen).
“Partai-partai papan menengah tersebut masih harus berjuang untuk bisa menembus ambang batas parlemen, di tengah minimnya coattail effect yang bisa diraih dalam situasi pemilu serentak yang berbarengan dengan Pilpres,” sebut Riandi.
Selebihnya adalah partai-partai papan bawah yang kecil peluangnya bisa melenggang ke Senayan. Di antaranya adalah PBB (0,7 persen), Hanura (0,6 persen), Ummat (0,5 persen), dan Garuda (0,1 persen). Lalu ada partai baru PKN dan Buruh yang masih nihil dukungan.
“Pada setiap gelaran pemilu, partai baru dan non-parlemen selalu menghadapi tantangan yang berat mengingat sistem multipartai yang berlaku lebih menguntungkan bagi partai-partai besar,” pungkas Riandi.
Masih ada 18,4 persen responden yang menyatakan tidak tahu/tidak jawab.
Survei Nusantara Strategic Network (NSN) dilakukan pada 23-27 Desember 2023, secara tatap muka kepada 1.200 responden mewakili seluruh provinsi di Indonesia.
Metode survei adalah multistage random sampling, dengan margin of error ±2,9 persen dan pada tingkat kepercayaan 95 persen. (far)