Kelima. Strategi Kuda Troya Prabowo yang masuk ke pertahanan mantan rival (Jokowi) dan bersekutu dengannya sukses memecah soliditas dukungan di internal PDI-P. Mau bagaimanapun, di Pilpres 2024 PDI-P terpecah menjadi dua kubu, yaitu kubu Ganjar yang didukung Megawati dan kubu Gibran yang didukung Jokowi. Hasilnya, berdasarkan data hitung cepat beberapa lembaga survei dan data sementara hitung riil KPU, suara kubu Gibran menang atas suara kubu Ganjar bahkan di kandang banteng seperti di Solo dan di mayoritas daerah di Jawa Tengah Ganjar kalah atas Gibran.
Keenam. Tidak lakunya isu pelanggaran etika, politik dinasti, dan kemunduran demokrasi. Pasca keluarnya putusan MK yang membolehkan Gibran maju sebagai cawapres pendamping Prabowo hingga di keseluruhan proses kampanye Pilpres 2024, pihak-pihak seperti pengamat, akademisi, guru besar, mahasiswa, aktivis, pegiat demokrasi selalu mengkritisi pelanggaran etika berat yang terbukti terjadi di MK yang kemudian membuat Anwar Usman─paman Gibran−harus dipecat dari jabatannya sebagai Ketua MK. Mereka para insan terdidik juga menyoroti upaya politik dinasti Jokowi dengan memajukan Gibran sebagai cawapres Prabowo. Nyatanya, semua upaya itu tidak efektif memengaruhi pilihan Masyarakat pemegang hak pilih. Jika dijumlahkan suara perolehan suara Anies-Muhaimin dan suara Ganjar-Mahfud totalnya hanya 41 persen suara. Jadi langkah kritis para kaum terpelajar yang getol menyuarakan pelanggaran etika di MK, menguliti politik dinasti Jokowi hanya ampuh menarik sekitar 41 persenan suara sehingga harapan adanya salam empat jari di putaran kedua Pilpres 2024 gagal total.