Mengapa suara kritis dari kalangan intelektual tidak berdampak terhadap Pilpres 2024? Jawabannya karena taraf pendidikan masyarakat pemilih di Indonesia mayoritasnya belum atau tidak tamat sekolah, belum tamat SD, lulusan SD─SMP. Berdasarkan data dari Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Juni tahun 2022, jumlah warga yang tidak atau belum tamat sekolah sekitar 65.018.451 jiwa, belum tamat SD sekitar 30.685.363 jiwa, tamat SD sekitar 64.446.545 jiwa, tamat SLTP sekitar 40.035.862 jiwa, dan tamat SLTA sekitar 57.533.189 jiwa. Adapun yang tamat D1 dan D2 sekitar 1.126.080 jiwa, tamat D3 sekitar 3.517.178 jiwa, tamat S1 sekitar 12.081.571 jiwa, tamat S2 sekitar 855.757 jiwa, dan tamat S3 sekitar 61.271 jiwa.
Dari data ini, tidak mengherankan jika kemudian Prabowo-Gibran yang mengusung janji melanjutkan pencapaian kinerja Jokowi seperti pembangunan infrastruktur, pemberian bantuan-bantuan sosial berhasil memenangi pertempuran elektoral meski mereka selalu diserang oleh persoalan pelanggaran etika, moral, hukum, dan cawe-cawe kekuasaan Jokowi. Masyarakat pemilih tidak peduli dan bahkan tidak menghiraukan hal tersebut karena mereka memang tidak berada di level para akademisi yang bisa berpikir kritis, dialektis, mengupayakan yang terbaik bagi masa depan demokrasi Indonesia dari sudut pandang akademik. Masyarakat pemilih lebih memlih yang praktis, konkret, dan dekat dengan kebutuhan hidup mereka. Bagaimanapun Pilpres 2024 sudah terselenggara, rakyat sudah memberikan suaranya, terlepas dari adanya dugaan kecurangan yang dapat diselesaikan melalui mekanisme di MK, mari menghargai suara rakyat! Vox populi vox dei.