HNW juga tidak sependapat dengan pandangan sebagian kalangan bahwa kecurangan pemilu hanya bisa diselesaikan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menegaskan bahwa hak angket kecurangan pemilu tentu berbeda dengan perselisihan hasil pemilu yang disidangkan di MK, meski ada presedennya bahwa MK bisa memutus membatalkan apabila ada kecurangan Pemilu/Pilkada yang terstruktur, sistematis dan masif.
“Biarkan dua proses itu berjalan sesuai dengan porsinya. Karena keduanya berbeda sekalipun sama2 konstitusional. Hak Angket didasarkan pada Pasal 20A ayat (2) UUD NRI 1945 dan perselisihan hasil pemilu di MK didasarkan pada Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945. Salah satunya tidak perlu digunakan untuk menafikan yang lain. Selama keduanya memenuhi syarat, seharusnya keduanya bisa dijalankan. Yang satu (hak angket) terkait dengan pengawasan, dan yang satu lagi (MK) berkaitan dengan mekanisme hukum (penyelesaian sengketa hasil di MK). Ke duanya konstitusional dan perlu ditempuh untuk menjauhkan dari potensi chaos, memberikan kepastian dan legitimasi Pemilu beserta hasil Pemilu, selain itu juga bentuk ketaatan pada Konstitusi untuk menyelamatkan demokrasi, prinsip negara hukum dan kemajuan NKRI,” pungkasnya. (Sol)