IPOL.ID – Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) saling berebut mahkota juara 1.
Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur KCI Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Ardian Sopa bahwa dalam survei LSI kali ini ada beberapa klasifikasi partai. Di antaranya, pertama adalah partai yang disebut sebagai partai premium, karena memang secara elektabilitas partainya di atas 10%.
“Ada Gerindra yang paling atas perolehan suara di angka 22,7 %, kemudian PDIP 18,9 %, dan Golkar 11,6 %. Jadi 3 ini menjadi partai premium,” kata Ardian Sopa saat konfrensi pers mengangkat tema ‘Mahkota Juara dari PDIP ke Gerindra?’ di kantor LSI di kawasan Rawamangun, Pulogadung, Jakarta Timur, Sabtu (10/2).
Kemudian misalnya kalau diluaskan, partai yang di atas 4% ini menarik. Karena ternyata ada sekitar 9 partai yang masuk di angka 4% ke atas.
“Tadi 3, ditambah ada PKB, PKS, Nasdem, PPP, Demokrat, dan PAN,” ujarnya.
Nah menarik di PPP, PAN, dan Demokrat, karena ketika diambil titik pesimis, dalam artian perolehan itu dikurangi dengan margin of error 2,9%, ternyata angkanya masih di bawah 4%.
Berbeda dengan partai-partai di atasnya, meski ditarik negatif 2,9% itu masih di atas 4%, sehingga masih aman.
“Untuk 3 partai ini, ini adalah partai yang juga masih perlu waspada atau hati-hati. Karena ketika ditarik garis pesimis itu di bawah 4%”.
Ardian menjelaskan, berbicara misalnya salah satu partai mengenai PPP misalnya, sekarang ini posisinya ada 4%, di angka yang belum aman. Tentu dengan angka 4% itu adalah meloloskan PPP untuk masuk parlemen. Tetapi ini adalah angka survei yang ada sekarang.
“Dan survei sebagaimana kita ketahui ini berdasarkan sampel. Ketika sampel tentu ada margin of error. Ketika untung misalnya kita tarik optimis menjadi lebih dari 4%. Tentu membahagiakan,” ucapnya.
Tetapi perlu juga diwaspadai ketika ditarik titik negatif itu menjadi di bawah 4%. Hal ini menjadi yang berbahaya, sehingga tidak meloloskan PPP itu masuk ke parlemen.
Jika misalnya ditarik sisi dari negatifnya dari margin of error itu. Menarik membedah PPP, karena saat dibedah dari sisi dukungan partai ke Calon Presiden-Calon Wakil Presiden (Capres-Cawapres) Ganjar Pranowo-Mahfud MD secara setelah partai.
Tetapi dari sisi pemilih-pemilihnya ternyata lebih banyak bahkan terhadap Prabowo-Gibran, dan juga Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin.
“Inilah yang biasa disebut sebagai split ticket voting ya bahwa ada perbedaan antara apa yang dicanangkan partai dengan pemilih-pemilih yang ada di bawah itu. Karena memang pemilih juga mempunyai independensi sendiri ya,” jelasnya.
Untuk dia bisa memilih capresnya sesuai dengan keinginannya dia sendiri. Dan ini adalah salah satu realita dihadapi ketika memang ada pilpres bersamaan dengan pileg yang dilakukan secara berbarengan.
“Jadi namanya itu split ticket voting. Jadi perbedaan antara siapa diusulkan oleh partainya dengan pilihan daripada masyarakat pemilih-pemilih dia yang ada di bawah. Karena ini juga bisa dipahami, mengapa? Karena ketika caleg-caleg ini turun, tentu dia berhubungan juga dengan masyarakat”.
Ketika dia berhubungan dengan masyarakat, tentu masyarakat juga sudah punya pilihan kira-kira capresnya seperti apa dan sebagainya. Sehingga banyak kejadian bahwa caleg-caleg misalnya dari partai A, dia tidak kampanye capres A juga karena di bawah itu ternyata banyak penolakan dan sebagainya.
“Nah, untuk kepentingan itu seringkali misalnya, oke untuk partai pilih caleg tapi untuk capres persilahkan saja sendiri-sendiri,” paparnya.
Sehingga fenomena yang tadi itu bisa mungkin terjadi. Kesimpulannya bahwa PPP ini pecah suaranya? Ardian menegaskan, PPP ini bukan hanya pecah tapi pecah terbagi. Pecah terbagi dan bagian besarnya bukan terhadap yang dia usung tetapi bisa pecah suara kepada capres yang lain.
Capres yang lain dalam konteks ini adalah Prabowo-Gibran. Termasuk juga ada yang ke Anies-Muhaimin bahkan lebih tinggi daripada yang diterima oleh Ganjar-Mahfud kalau dilihat dari data yang ada.
Kemudian kalau misalnya diamati secara teritori PPP banyak ada di Jawa, dibandingkan di Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan sebagainya. Tetapi ketika di zoom antara Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, paling banyak suara dimana sih?
Ardian menambahkan, hal itu hampir sama dengan basis PKB di Jawa Timur, basis PPP ada banyak di Jawa Timur, dibandingkan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dalam konteks itu, memang apapun yang terjadi di Jawa Timur berpengaruh terhadap elektabilitas PPP maupun terhadap capres yang didukungnya.
“Sehingga tak heran ketika di Jawa Timur orang-orang tinggi pilihannya ke Prabowo, hingga pemilih PPP tidak sesuai dengan arahan atasnya. Berhubungan dengan realitas yang ada,” ungkapnya.
Lebih jauh, ditanyakan menjelang masa tenang, adanya sejumlah pendukung Anies di Jakarta pindah dukungan ke Prabowo, tentu hal itu harus melihat seberapa besar perpindahan dukungannya itu.
“Jika tidak besar perpindahan dukungannya itu pengaruhnya tak akan besar. Tapi kalau tidak besar tapi diblow up begitu besar misalnya masyarakat bisa mengetahui itu. Itu juga bisa berpengaruh,” tukasnya.
Jadi konteksnya pertama apakah ini besar atau tidak perpindahan dukungannya itu, tetapi jika tak besar tapi bisa diperbesar dengan amplifier lain hingga masyarakat mengetahui dan merubah pilihan yang ada di masyarakat.
“Tapi tidak cukup disitu, selain masyarakat mengetahui tetapi meyakini bahwa memang perpindahan dukungan karena alasan A B, C dan seterusnya”.
Tahapannya orang mengetahui kemudian memilih apa benar atau tidak baru memutuskan untuk ikut gelombang itu atau tidak.
Di Jakarta memang lebih diuntungkan dengan sisi pemberitaan yang masif, karena memang semua faktor dari Jakarta dan seterusnya. Lalu Jakarta sebagai Ibu Kota menjadi titik sentral dari isu-isu yang berkembang dan lainnya.
“Jadi tergantung dari apakah isu ini menyebarluas ke masyarakat, apakah masyarakat meyakini itu sebagai sebuah kebenaran, barulah itu berpengaruh atau tidak,” katanya.
Namun melihat perpindahan diflourkan, pendukung Prabowo pindah ke Anies, Anies ke Prabowo, Ganjar ke Prabowo itu ada.
“Itu sebenarnya gimik pendukung agar bisa naik ke permukaan, tapi pengaruh atau tidak tergantung besar atau tidaknya dukungan itu,” tutup Ardian. (Joesvicar Iqbal/msb)