Atas penetapan resmi KPU tersebut, muncul beragam respon dari pihak-pihak terkait. Ada yang menerima, ada yang merasa kecewa, dan ada yang berkeinginan untuk menggugat hasil Pemilu 2024 ke Mahkamah Konstitusi karena merasa tidak puas dan merasa dicurangi. Apapun itu, hasil resmi pemilu 2024 sudah keluar dan bagi yang keberatan dimungkinkan untuk menempuh jalur konstitusional melalui mekanisme peradilan di Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga Persengketaan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang timbul dapat diputus secara berkeadilan.
Terlepas Pemilu 2024 telah usai diselenggarakan dan hasilnya telah diketahui bersama, penulis ingin menyoroti kualitas pelaksanaan Pemilu 2024 secara objektif berdasarkan fakta dan realita. Tujuannya, agar menjadi pembelajaran politik bersama sehingga ke depan kualitas demokrasi Indonesia semakin berkemajuan.
Secara teknis, Pemilu 2024 memang telah terselenggara. KPU sukses melaksanakan pesta demokrasi lima tahunan sesuai target waktu dan amanat konstitusi. Namun demikian, bagaimana sesungguhnya mutu pelaksanaan Pemilu 2024? Hemat penulis, Pemilu 2024 penuh dengan anomali sehingga layak dikritisi agar pelaksanaan pemilu berikutnya menjadi lebih ideal. Terjadinya pelanggaran kode etik berat yang dilakukan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) nonaktif karena berdasarkan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang bersangkutan terbukti ikut mengadili dan aktif melobi hakim MK lain agar mengabulkan gugatan uji materi tentang syarat batas usia capres-cawapres di bawah 40 tahun boleh mengikuti Pilpres 2024 sepanjang pernah atau sedang menjabat jabatan yang dipilih melalui pemilu termasuk pilkada adalah pembuka dari terjadinya anomali pelaksanaan Pemilu 2024. Putusan MK tersebut kemudian menjadi tiket majunya Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka yang belum genap berusia 40 tahun mendampingi Prabowo Subianto dan ternyata hal tersebut kemudian mendapat restu Presiden Jokowi.