IPOL.ID – Migrant Care menemukan adanya pemborosan lebih dari Rp15,6 miliar dalam pemilihan umum (pemilu) ulang di Kuala Lumpur, Malaysia, yang dilangsungkan pada Minggu 10 Maret.
Koordinator Staf Pengelolaan Data dan Publikasi Migrant Care Trisna Dwi Yuni Aresta menyebut pemborosan itu berasal dari anggaran yang digunakan untuk pengiriman logistik surat suara via pos.
“Sekitar Rp15,6 miliar anggaran dalam pengiriman surat suara pada metode pos digunakan, namun berujung pada PSU dikarenakan pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara,” ungkap Trisna, dilansir VOA Indonesia.
Migrant Care, kata Trisna, juga menemukan adanya penciutan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam pemilihan suara ulang (PSU) di Kuala Lumpur. DPT di Kuala Lumpur awalnya tercatat 491.152, namun kenyataannya DPT dalam PSU di Kuala Lumpur tersebut dilaporkan hanya mencapai 62.217 atau hanya 13,90 persen saja. Perlu diketahui, DPT di Kuala Lumpur ini merupakan DPT terbanyak pertama dibanding negara-negara lain.
“Kenapa ini menyusut. Jika kemarin berdasarkan yang disampaikan oleh Pak Rachmat Bagja, ternyata yang berhasil dimutakhirkan datanya oleh KPU adalah sekitar 68 ribu atau sekitar 16 persen. Namun kami juga masih menanyakan kenapa penyusutan itu terjadi begitu banyak. Kalau memang berdasarkan dari data pemutakhiran ada memang selisih yang cukup besar antara 68 ribu dengan 62 ribu,” tambahnya.
Menurut pantauan VOA, jumlah WNI yang mencoblos ulang di Kuala Lumpur hingga saat TPS-TPS di World Trade Center ditutup pada hari Minggu 10 Maret tidak sebanyak pemungutan suara 14 Februari lalu.
Trisna Dwi Yuni Aresta mengatakan ini dikarenakan sosialisasi perlunya pemungutan suara ulang tidak disampaikan secara meluas oleh penyelenggara pemilu.
Hal senada disampaikan Direktur Migrant Care Wahyu Susilo.
“Saya juga menduga partisipasi (di PSU) akan jauh menurun. Saya tadi mewawancarai beberapa pekerja yang sedang istirahat di satu kilang di Kajang. Dia pertama menyatakan kotak suara keliling (KSK) tanggal 9 (Maret), jauh hari sebelum ada KSK, dia sudah mengajukan izin ke majikan. Perusahaannya juga sudah menyetujui. Kalau nanti KSK berubah menjadi tanggal 10 (Maret) berarti dia akan izin lagi. Itu akan mengurangi upah mereka. Sehingga, dia memutuskan untuk tidak datang pada tanggal 10 (Maret) ini,” ungkap Wahyu.
Selain itu, adanya kesimpangsiuran informasi mengenai beberapa syarat untuk bisa mencoblos ulang yakni surat keterangan domisili dan surat izin dari majikan dinilai juga semakin menurunkan minat dan antusias PMI untuk menggunakan hak pilihnya pada PSU kali ini.
“Ini beberapa indikasi dan temuan saya yang boleh saya mengatakan bahwa ini indikasi kuat bahwa partisipasi untuk PSU akan jauh lebih menurun,” katanya.
Menurutnya, hal penting semacam ini harus diperhatikan oleh penyelenggara pemilu terutama KPU yang kerap menilai rendahnya partisipasi WNI di luar negeri karena masyarakat malas menggunakan hak pilih.
“Selalu yang disalahkan adalah WNI yang ada di luar negeri sebagai biang dari rendahnya partisipasi pemilu Indonesia di luar negeri. Tapi mereka tidak pernah berkaca, bahwa itu terjadi karena mereka tidak responsif, pada kebutuhan spesifik, pada metode yang sering kali menggagalkan teman-teman PMI untuk bisa berpartisipasi secara penuh,” tegasnya.
Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyatakan kepastian hukum dan keadilan pemilu merupakan salah satu masalah besar bagi pemilu di luar negeri.
Titi menyampaikan berbagai masalah kepastian hokum, terutama soal status pemilih dan pengelompokan pemilih yang dinilainya tidak pernah jelas dan tidak pernah tegas. Permasalahan selanjutnya dalam pemilu di KL ini adalah terkait akurasi dan validitas data; serta kapasitas petugas pemilihan dan petugas pengawasan.
“Kalau petugasnya inkompeten, harusnya pengawasnya bisa mengoreksi. Tapi yang terjadi adalah penyalinan atau pencatatan C hasil yang sama sekali jauh dari standar tata cara dan prosedur di dalam administrasi hasil TPS. Dan itu buruk sekali. Dan lagi-lagi yang dipertaruhkan adalah suara pemilih. Bagaimana mungkin misalnya DPT nol, tapi surat suara dan surat suara cadangan jumlahnya 1.020? Artinya ada problem kapasitas dan kompetensi petugas yang sangat bermasalah, bukan hanya petugas pemilihan tapi juga pengawas,” ungkap Titi.
Ditambahkannya, pemungutan suara ulang dalam pemilu kali ini menjadi pembuktian betapa lemahnya posisi pemilih ketika dihadapkan pada ketidakcakapan dan ketidakprofesionalan penyelenggara pemilu yang dinilainya sama sekali tidak berintegritas dengan baik.
“Taruhannya adalah hak konstitusional pemilih yang tercederai dan hak peserta pemilu untuk mendapatkan keadilan kompetisi juga tidak menjadi terpenuhi,” pungkasnya. (VOA Indonesia/far)