IPOL.ID – Juru bicara hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Enny Nurbaningsih, menegaskan bahwa Mahkamah tidak menghapus ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 4 persen dalam putusan 116/PUU-XXII/2024, Kamis (29/2).
Dalam putusan itu, MK menegaskan bahwa penentuan ambang batas parlemen harus rasional.
Selama ini, tidak ada penjelasan rasional di balik angka 4 persen ambang batas parlemen yang diatur Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu).
“Putusan 116 tidak meniadakan threshold sebagaimana dapat dibaca dari amar putusan. Threshold dan besaran angka persentasenya diserahkan ke pembentuk undang-undang untuk menentukan threshold yang rasional dengan metode kajian yang jelas dan komprehensif,” jelas Enny dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat (1/3).
Penentuan ambang batas parlemen yang rasional disertai dengan kajian, bertujuan untuk menekan disproporsionalitas pemilu legislatif (pileg).
Pileg di Indonesia menganut sistem proporsional, di mana partai politik dengan suara sedikit pun berhak atas sejumlah kursi di parlemen.
Namun, ambang batas parlemen yang tinggi dan tidak rasional menyebabkan banyak suara sah para pemilih pileg tidak dapat dikonversi menjadi kursi di parlemen, karena jumlah suara sah partai politik itu tak memenuhi ambang batas.
Dengan kata lain, suara-suara tersebut terbuang. Semakin tinggi disproporsionalitas itu, maka semakin banyak suara sah yang terbuang.
“Sehingga sistem proporsional yang digunakan, tapi hasil pemilunya tidak proporsional,” tegas Enny.
Oleh karena itu, Enny menyatakan, Pemilu 2029 dan seterusnya harus sudah menggunakan ambang batas parlemen dengan besaran persentase yang dapat menyelesaikan persoalan tersebut. (Sofian)