IPOL.ID – Tim Pusat Riset Antariksa (PRA) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mendalami efek gerhana matahari total yang terjadi pada 9 Maret 2016 di Asia Tenggara dan Pasifik.
Peneliti PRA BRIN Varuliantor Dear mengatakan, gerhana matahari di Indonesia menjadi kesempatan untuk memahami dinamika ionosfer, yang memiliki implikasi terhadap teknologi komunikasi dan navigasi berbasis satelit.
“Keunikan ionosfer di atas wilayah Indonesia merupakan hal yang berharga untuk dipahami karena terkait dengan aplikasi teknologi komunikasi dan navigasi berbasis satelit yang semakin marak digunakan serta terus berkembang,” kata Varuliantor, pada Jurnal Review edisi 3, mengutip Senin (22/5/2024).
Pihaknya menggunakan tiga data, yakni ionosonda di Guam dan Biak, data GPS dari jaringan Madrigal, dan data penerimaan sinyal radio HF dari jaringan sistem automatic link establishment (ALE) untuk sirkuit Manado-Biak.
Penelitian menemukan dua poin utama, yakni peningkatan ketinggian lapisan F ionosfer yang cepat dan terjadi pengurangan kepekatan plasma.
“Peningkatan lapisan F ionosfer tersebut terlihat jelas berdasarkan perhitungan kecepatan drift vertical yang terekam pada data ionosonda Guam, serta parameter ketinggian lapisan ionosfer dari data ionosonde Biak,” urainya.
“Sedangkan penurunan densitas plasma terlihat jelas dari parameter foF2 data ionosonda Biak maupun Guam, Penurunan nilai TEC dari data GPS, dan perubahan indeks intensitas kuat sinyal radio HF di jaringan ALE untuk sirkuit Manado-Biak. Penurunan ini terlihat dari berkurangnya nilai foF2 dan TEC,” tambah Varuliantor.
Data dari Guam menunjukkan terjadi peningkatan ketinggian lapisan F ionosfer hingga 400 km selama gerhana, dengan kecepatan vertikal 37 m/s. Sementara itu, data ionosonda Biak, menunjukkan peningkatan ketinggian hingga 300 km dengan kecepatan 28 m/s.
Lebih lanjut Varuliantor menyampaikan, dengan fitur yang tersedia di perangkat Ionosonda Guam, yakni fitur pengukuran frekuensi Doppler sinyal echo, perhitungan kecepatan vertikal cukup signifikan selama gerhana, yakni mencapai puncak 40 m/s dan kemudian kembali normal.
“Temuan ini menunjukkan secara jelas adanya perubahan signifikan lapisan ionosfer yang merespons peristiwa gerhana,” tuturnya.
Dirinya menambahkan setelah puncak gerhana, ionosfer mulai merespons dengan terjadinya penurunan kerapatan plasma lapisan ionosfer, yang terlihat dari penurunan nilai frekuensi kritis lapisan F2 dan F3.
Hal ini serupa dengan penurunan nilai TEC yang teramati dari hasil pengolahan data GPS jaringan Madrigal.
Sebagai analisis pendukung, penurunan kerapatan elektron di lapisan D ionosfer juga terungkap dari tren nilai indeks kuat sinyal jaringan radio ALE yang berbeda (indeks SN) saat hari gerhana, dengan hari sebelum dan sesudah gerhana.
Pengukuran kekuatan sinyal (indeks SN) menunjukkan bahwa ionosfer wilayah D mungkin berkurang secara signifikan selama gerhana.
Varuliantor mengungkapkan, penelitian respon ionosfer terhadap peristiwa gerhana di wilayah Indonesia yang telah dipublikasikan dalam Jurnal Geophysical Report ini merupakan salah satu cara untuk memahami dinamika ionosfer di wilayah Indonesia. (ahmad)