IPOL.ID – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mewakili pemerintah telah menyampaikan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2025 (KEM-PPKF 2025) kepada DPR pada 20 Mei 2024.
Rancangan fiskal tersebut menjadi bahan pembicaraan awal penyusunan RAPBN 2025, yang nantinya akan dijalankan oleh pemerintahan yang baru. Menkeu menyampaikan sebagai titik tumpu menuju Indonesia Emas, desain kebijakan fiskal tahun 2025 diarahkan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Pertumbuhan ekonomi diperkirakan berada pada kisaran 5,1% hingga 5,5% ditopang oleh terkendalinya inflasi, kelanjutan dan perluasan hilirisasi SDA, pengembangan industri kendaraan listrik, dan digitalisasi yang didukung oleh perbaikan iklim investasi dan kualitas SDM.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia (CORE Indonesia) Mohammad Faisal menuturkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia memang harus semakin tinggi selaras dengan rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) dan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN).
Terlebih lagi Indonesia punya visi keluar dari middle income trap dalam 20 tahun mendatang. Sehingga target-target pemerintah ke depan harus sinkron dengan visi tersebut.
“Target pemerintah 5,1% sampai 5,5% ya. Kalau menurut saya kira-kira 5,3%. Itu kurang lebih mirip 2022 ya,” ujar Faisal, mengutip laman Kemenkeu, Senin (10/6/2024).
Perbedaanya lanjut Faisal jika di tahun 2022 ekonomi domestik tumbuh signifikan hingga 5,3% dari yang sebelumnya hanya 5%, itu terjadi karena adanya dorongan faktor eksternal yakni commodity boom yang kemudian berdampak pada surplus perdagangan dan surplus APBN. Namun, saat ini harga komoditas telah termoderasi atau bahkan menurun. Jadi pertumbuhan ekonomi tak lagi dapat mengandalkan booming komoditas.
Tantangan selanjutnya adalah konflik geopolitik yang meskipun probabilitasnya kecil namun begitu terjadi akan menimbulkan efek rambatan yang besar.
Sementara itu, dari sisi internal Faisal menyoroti adanya perlambatan konsumsi khususnya di kalangan kelas menengah. Baik dilihat dari indeks penjualan retail, penjualan properti, durable goods seperti kendaraan bermotor, hingga barang-barang lainnya.
Pelemahan daya beli kelompok pendapatan menengah, baik di sektor formal maupun informal juga sejalan dengan gejala penurunan upah riil. Meskipun secara nominal mungkin upah mereka meningkat tapi peningkatan tersebut terkoreksi dengan inflasi.
Di samping itu, tantangan juga datang dari aspek tabungan masyarakat yang cenderung melambat. Baik di kalangan miskin, menengah, maupun atas.
Adapun pemerintah memperkirakan inflasi pada 2025 dapat dikendalikan di kisaran 1,5% sampai dengan 3,5%.
Faisal memandang target inflasi tersebut cukup realistis dan semestinya bisa dicapai. Meski demikian pemerintah tetap perlu mewaspadai dinamika konflik geopolitik.
“Itu kalau misalnya harga minyak di atas 100 dollar, dan inflasi dollar meningkat kembali, kemudian ada transmisinya ke dalam negeri, inflasi dalam negeri itu juga (dapat) meningkat lebih dari 3,5%. Kalau kita lihat 2022 kan 5,4% malah,” lanjutnya.
Terlepas dari faktor geopolitik atau eksternal, menurut Faisal pemerintah tetap perlu mengendalikan inflasi pangan karena akan sangat berdampak pada masyarakat menengah ke bawah. Di samping itu, pemerintah juga perlu tetap menjaga inflasi administered prices atau harga-harga yang diatur pemerintah.
Sebab itu, Faisal mengemukakan ketepatan aplikasi strategi kebijakan oleh pemerintahan yang baru nanti akan sangat menentukan dalam mencapai target pertumbuhan di tengah kondisi yang kian menantang.
“Strateginya harus yang tidak business as usual karena kalau pakai cara yang sama ya tidak akan bisa tercapai (targetnya). Harus ada terobosan-terobosan,” ujarnya.
Evaluasi Hilirisasi
Pemerintah akan melanjutkan dan memperluas program hilirisasi SDA sebagai salah satu upaya mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.
Menanggapi hal tersebut, Faisal mengungkapkan hilirisasi SDA khususnya di industri manufaktur berdampak positif, baik terhadap peningkatan investasi maupun ekspor manufaktur terutama dari turunan nikel yakni besi dan baja. Kendati demikian, menurut dia pemerintah perlu mengevaluasi program tersebut dengan cermat.
Faisal menerangkan hilirisasi yang dilakukan masih banyak berfokus kepada komoditas tertentu yaitu nikel. Di satu sisi, peningkatan kapasitas smelter telah memberi nilai tambah. Namun capaian itu belum cukup signifikan untuk mendongkrak pertumbuhan industri manufaktur yang saat ini masih berada di kisaran 4%.
“Artinya, enggak cukup kalau hilirisasi yang udah ada saja yang diandalkan,” kata Faisal.
Apabila pemerintah ingin melanjutkan hilirisasi, maka perlu adanya ekstensifikasi dan intensifikasi hilirisasi.
Hilirisasi Faisal berpendapat perlu diperluas tidak hanya di komoditas pertambangan. Tetapi juga di sektor-sektor lain yang membutuhkan banyak industri pengolahan seperti perkebunan, pertanian, perikanan. Kebutuhan hilirisasi juga dapat disinkronkan dengan program prioritas pemerintah.
Di samping perluasan atau ekstensifikasi, pemerintah juga perlu melakukan pendalaman atau intensifikasi hilirisasi. Contohnya hilirisasi nikel yang saat ini baru sampai tahap awal pengolahan bijih nikel menjadi logam feronikel atau nickel pig iron, bisa lebih dioptimalkan pengembangannya.
“Value added yang diciptakan masih (minim) walaupun ada peningkatan dibandingkan kita mengekspor bijih (nikel). Tetapi potensinya sebetulnya bisa berpuluh, (bahkan) beratus kali lipat daripada itu. Nah, itu (intensifikasi) kalau terjadi akan berkontribusi terhadap pencapaian pertumbuhan ekonomi,” paparnya.
Sebagaimana diketahui, nikel merupakan bahan baku komponen baterai kendaraan listrik. Sehingga melimpahnya komoditas nikel tanah air berpotensi besar mendorong pembangunan industri baterai tersebut.
Transformasi bijih nikel menjadi baterai ion litium (LiB) membutuhkan tahapan proses yang panjang dan menghasilkan produk antara di setiap tahapannya. Sehingga nilai tambah dalam rangkaian industri baterai tersebut akan berdampak besar pada produk domestik bruto (PDB).
Faisal juga menambahkan bicara mengenai industrialisasi atau reindustrialisasi bukan hanya menyoal hilirisasi. Namun, penguatan sektor hulu pun sangat diperlukan.
“Jadi, kalau kita ingin industri hilir kita kuat, industri hulunya juga harus kuat,” ujarnya.
Di samping itu, pemerintah juga dapat mendorong sektor-sektor lain yang memiliki multiplier effect (di luar manufaktur) untuk mendukung program prioritas pemerintah sekaligus menggerakkan ekonomi. Misalnya dalam menjalankan program makan siang gratis, pemerintahan yang baru bisa melakukannya dengan memberdayakan UMKM serta menggunakan bahan baku lokal sesuai ketersediaan di masing-masing daerah.
Jaga Kehati-hatian APBN
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat paripurna DPR RI mengenai penyampaian pengantar dan keterangan pemerintah atas KEM-PPKF 2025 menuturkan untuk mewujudkan pertumbuhan yang tinggi dan inklusif, peningkatan kesejahteraan dan pemerataan antardaerah perlu ditopang dengan APBN yang efisien, sehat, dan kredibel.
Penguatan efektivitas APBN dilakukan melalui optimalisasi pendapatan negara, belanja yang efisien dan efektif, serta pembiayaan yang inovatif.
“Reformasi fiskal yang selama ini sudah berjalan harus dilanjutkan dan diperkuat efektivitasnya melalui collecting more, spending better, dan innovative financing,” tutur Menkeu Sri Mulyani Indrawati.
Pendapatan negara ditargetkan mencapai kisaran 12,14% hingga 12,36% dari PDB. Sedangkan pagu belanja negara diperkirakan sebesar 14,59% sampai dengan 15,18% PDB. Sementara, defisit fiskal diprediksi berada pada kisaran 2,45% hingga 2,82% PDB.
Menkeu lanjut menjelaskan upaya untuk menutup defisit tersebut dilakukan dengan mendorong pembiayaan yang inovatif, prudent dan sustainable yang ditempuh, antara lain dengan mengendalikan rasio utang dalam batas manageable di kisaran 37,98% sampai dengan 38,71% PDB; dan mendorong efektivitas pembiayaan investasi untuk mendukung transformasi ekonomi dengan memberdayakan peran BUMN, BLU, SMV dan SWF; memanfaatkan saldo anggaran lebih untuk antisipasi ketidakpastian; serta mendorong skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU).
Pengelolaan kebijakan fiskal yang efektif, prudent, dan kredibel menjadikan Indonesia salah satu dari sedikit negara yang keluar dari krisis pandemi dengan cepat dan kuat.
Setelah pelebaran defisit fiskal di atas 3% PDB selama 3 tahun (2020-2022), kinerja APBN yang prudent dan kredibel berhasil mengembalikan defisit APBN kembali di bawah 3% PDB, setahun lebih cepat dari rencana semula dan tanpa mengorbankan momentum pertumbuhan ekonomi serta tetap konsisten melakukan reformasi struktural.
Ketika defisit fiskal di AS, India, dan Tiongkok pada tahun 2023 masing-masing berada di level 8,8%, 8,6% dan 7,1% PDB. Pada periode yang sama, tercatat defisit APBN Indonesia hanya sebesar 1,62% PDB. Selain itu, untuk pertama kali sejak tahun 2012, keseimbangan primer kembali mencatatkan surplus 0,5% PDB.
Menkeu juga menekankan dengan pembiayaan defisit berbasis pasar (market-based financing) dan tidak lagi bergantung pada pinjaman bilateral dan multilateral, penting untuk menjaga kondisi fundamental ekonomi dan kredibilitas APBN karena akan berdampak pada efektivitas APBN.
Pelebaran defisit fiskal secara signifikan berpotensi menaikkan imbal hasil SBN, menekan nilai tukar Rupiah, mengerek suku bunga domestik, dan pada gilirannya akan menurunkan aktivitas swasta atau dikenal sebagai crowding out effect.
“Kehati-hatian (prudence) dan kredibilitas kebijakan fiskal sangat menentukan efektivitas kebijakan fiskal,” tegas Sri Mulyani Indrawati.
Sementara itu, Faisal menilai target defisit yang dirancang pemerintah dapat dimaklumi sebagai upaya antisipasi risiko ketidakpastian yang masih tinggi ke depan. Meski demikian, dia juga menyoroti lebarnya defisit di masa transisi ke pemerintahan baru tersebut, jika dibandingkan dengan masa peralihan rezim 10 tahun lalu. Sebab itu, Faisal mewanti-wanti akan konsekuensi yang menyertai pelebaran defisit seperti meningkatnya beban utang dan bunga utang.
“Maka dari itu dalam desain ini bergantung pada desain kebijakan, program-program pemerintahan yang baru perlu berhati-hati. Bukan hanya karena ada keinginan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, tapi juga harus melihat aspek stabilisasi terutama dari sisi fiskal,” papar Faisal.
Faisal juga menyampaikan salah satu tantangan pengelolaan APBN adalah mengukur antara kondisi saat ini dengan kebutuhan ke depan. Dia memandang di tengah ruang fiskal yang terbatas dan konsumsi masyarakat yang relatif mengalami perlambatan, pemerintah harus berhati-hati dalam mengambil kebijakan. Sehingga tidak terjadi gejolak di masyarakat.
Dalam melakukan perencanaan Faisal mengemukakan pemerintah harus memperhatikan mana program yang harus diprioritaskan dan mana yang bisa ditunda. Kesesuaian waktu implementasi kebijakan juga menjadi penting misalnya dalam menaikkan penerimaan atau menambah belanja.
“Jadi perlu diperhatikan timingnya, melihat dulu kondisi masyarakat dan kondisi pelaku usaha. Supaya ada ruang gerak di sisi ekonomi dan di-balance juga dari ruang fiskalnya,” kata Menkeu. (ahmad)