IPOL.ID – Program transmigrasi yang sudah digulirkan sejak pemerintahan orde lama dinilai masih menjadi cara ampuh bagi negara dalam pengembangan lahan.
Meski bersifat jangka panjang, transmigrasi menimbulkan banyak manfaat bagi masyarakat.
Namun,memasuki 2024 adanya PP 19 turunan dari UU Cipta Kerja dinilai berpotensi menjadi pintu masuk praktek cawe-cawe pejabat negara.
Pandangan itu disampaikan Ketua Himpunan Masyarakat Peduli Transmigrasi Indonesia (HMPTI), Mirwanto saat ngobrol santai di Podcast Si Ipol, Senin (8/7) malam.
“Kalau dahulu, hak pengelolaan tanah tidak bisa dialihkan. Namun saat ini adanya PP 19 turunan dari UU Cipta Kerja. Pengelolaan atas tanah bisa dikerjasamakan lagi dengan pihak ketiga,” sesalnya.
Dengan adanya aturan tersebut, Mirwanto merasa khawatir kewenangan yang diberikan pada kementerian dalam hal pengelolaan tanah akan merugikan bagi masyarakat.
“Sebab dalam aturannya yang sangat memojokan bagi masyarakat, yakni adanya ketentuan 80 persen negara dan 20 persen untuk rakyat. Dan ini sangat berbahaya,”imbuhnya.
Karena itu, sambungnya lagi negara dalam hal pengelolaan tanah harus berpegang teguh pada asas keadilan bagi seluruh rakyat. Hal itu pun, kata dia lagi sesuai dengan amanat UUD 1945 peruntukan tanah untuk kemakmuran rakyat.
“Program transmigrasi merupakan cara ampuh mendistribusikan tanah pada rakyat. Dan itu sudah terbukti di Kalimantan Utara dan Sulbar.Apalagi dalam perjalannya, transmigrasi banyak melahirkan jabatan. Khususnya pada 3.500 lebih desa yang baru di bangun. 116 ribu kabupaten, 1500 desa dan 400 lebih kecamatan. Dengan begitu tentunya perubahan UU transmigrasi harus dilakukan perubahan secara konsisten,” tandasnya.(sofian)