IPOL.ID – Siklus El Nino dan La Nina telah diamati sejak 1961 hingga 1993. Hasil pengamatan menunjukkan, Indonesia secara konsisten mengalami anomali hujan pada April hingga Desember.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Edvin Aldrian mengatakan, La Nina memiliki sifat berlawanan dengan El Nino.
La Nina cenderung menyebabkan peningkatan curah hujan, sementara El Nino biasanya mengurangi curah hujan.
“Indonesia merupakan daerah pintu masuk dari El Nino. Anomali tinggi muka laut di wilayah Indonesia menunjukkan korelasi negatif dengan indeks El Nino di Samudera Pasifik,” jelas Edvin, pada BRIN Insight Every Friday (BRIEF), secara daring, akhir pekan ini.
Edvin mengatakan, Samudera Pasifik memiliki sifat dari suhu yang terus naik akibat dari El Nino dan La Nina, serta pemanasan global. Saat La Nina, suhu permukaan laut di bagian tengah dan timur Samudra Pasifik menjadi lebih dingin dari biasanya. Fenomena ini menurutnya, berdampak besar terhadap pola cuaca di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
“Dampak La Nina tidak hanya terbatas pada perubahan pola hujan, tetapi juga memengaruhi sektor pertanian, perikanan, dan ekosistem laut,” tuturnya.
Melalui Great Ocean Conveyor Belt, yaitu sebuah sistem sirkulasi arus laut bumi yang terus bergerak dan memengaruhi distribusi panas di seluruh permukaan bumi, Edvin mengungkap, perpindahan panas yang terjadi di Indonesia lalu berpindah ke Samudra Pasifik tengah. Ini bisa terjadi ketika waktu El Nino atau La Nina, dan pengaruhnya bisa terjadi di seluruh permukaan bumi.
Kelautan Indonesia sebagai kanal atau pintu masuk utama arus lintas Indonesia (arlindo) dapat digunakan sebagai prekursor kedatangan El Nino dengan tingkat keyakinan tinggi.
Namun demikian, menurut profesor dengan keahlian dan pengalaman yang luas di bidang meteorologi dan klimatologi tersebut, La Nina dapat menyebabkan kekeringan hebat yang kadang disertai dengan kebakaran hutan, serta peningkatan potensi gagal panen pada sektor pertanian, terutama padi.
Di sisi lain, sektor perikanan bisa mendapatkan manfaat dari La Nina karena suhu laut yang lebih dingin membuat ikan berenang lebih dekat ke permukaan, sehingga memudahkan penangkapan.
“Perubahan iklim akibat La Nina dapat mengubah ekosistem laut. Suhu muka laut yang terasa lebih dingin dari biasanya, menyebabkan biota laut yang berada di kedalaman naik ke permukaan,” tuturnya.
Edvin berharap, dengan memahami penjelasan komprehensif penyebab terjadinya hingga dampak yang meluas dari La Nina akan memperkuat pemahaman publik. Serta, memberi masukan dalam merumuskan strategi mitigasi yang efektif, dipadukan dengan orientasi pembangunan nasional pada wilayah kemaritiman Indonesia yang berpotensi terus dikembangkan.
Dengan diakui dan ditetapkannya Deklarasi Djuanda dalam Konvensi Hukum Laut PBB atau United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982, menegaskan Indonesia sebagai negara kepulauan atau archipelagic state, mencakup laut di sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia.
“Wilayah laut Indonesia memiliki luas tiga per empat dari total wilayah negara adalah potensi laut yang akan menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi yang menyebar di seluruh wilayah nusantara,” kata Edvin.
Profesor penerima Tanda Kehormatan Bintang Jasa Pratama tahun 2023 ini merinci, banyak hal yang bisa dilakukan untuk memprediksi El Nino atau La Nina.
“Seperti memasukkan parameter-parameter ke dalam sistem artificial intelligence atau sistem observasi lainnya, sehingga dalam enam bulan ke depan, kita akan mengetahui apakah Indonesia mulai memasuki bahaya El Nino atau La Nina,” pungkasnya. (ahmad)