IPOL.ID-Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur dalam proses identifikasi tujuh jenazah remaja ditemukan di Kali Bekasi, Kota Bekasi, Jawa Barat, identifikasi lewat pencocokan data sampel DNA menjadi opsi terakhir.
Kepala Rumah Sakit (Karumkit) Polri Kramat Jati, Brigjen Pol Prima Heru menjelaskan, DNA jadi pilihan terakhir bila identifikasi jenazah lewat pencocokan data sidik jari dan gigi korban tidak berhasil dilakukan.
Sidik jari, gigi, dan DNA menjadi parameter dalam proses identifikasi lewat metode Disaster Victim Identification (DVI) karena pada ketiganya terdapat karakteristik khusus menunjukkan identitas.
“Apabila salah satu, sidik jari atau gigi ada (sudah cocok) kami tak perlu pemeriksaan DNA. Jadi pemeriksaan DNA untuk mencari data primer yang terakhir,” terang Prima pada awak media, Rabu (25/9/2024).
Dia mencontohkan dua jenazah di Kali Bekasi, yakni Muhammad Rizky, 19, dan AD, 16, yang dinyatakan teridentifikasi melalui pencocokan data sidik jari dan gigi antemortem dengan postmortem.
Antemortem merupakan data diberikan keluarga korban, di antaranya, sidik jari korban pada ijazah, data DNA dari keluarga inti, dan pemeriksaan medis gigi atau foto menunjukkan kondisi gigi.
Sedangkan data pembanding postmortem atau setelah kematian yakni data sidik jari, sampel DNA, dan gigi yang didapatkan Tim DVI RS Polri Kramat Jati dari jenazah lewat sejumlah proses.
Setelah teridentifikasi berdasar pencocokan dua data primer maka identifikasi menggunakan data DNA sudah tidak perlu lagi dilakukan, sehingga jenazah dapat langsung diserahkan.
Identifikasi melalui pencocokan data DNA menjadi opsi terakhir karena prosesnya yang membutuhkan waktu lama, rata-rata selama tujuh hari karena butuh serangkaian tahapan.
Hal itu berbeda dengan pencocokan data sidik jari yang dapat dilakukan bila kondisi sidik jari pada jenazah korban dapat dicocokan dengan data sidik jari dari ijazah atau dokumen lain.
“Pemeriksaan DNA rata-rata butuh tujuh hari, karena di situ ada beberapa proses yang dijalani. Ada tahapan-tahapan, kalau (sampel DNA diekstrak dari) darah bisa diperiksa akan lebih cepat,” kata Prima.
Hanya saja, sambungnya, dalam kasus di Kali Bekasi, dari hasil pemeriksaan kondisi darah korban tidak memungkinkan diekstraksi untuk mendapat sampel DNA karena jasad korban terendam dalam air.
Sampel DNA korban memang bisa didapat dari tulang melalui serangkaian tahapan, namun waktu yang dibutuhkan lebih lama dibanding ekstrasi DNA dari darah dan cairan korban.
Sehingga Tim DVI RS Polri Kramat Jati kini tetap berupaya agar sampel DNA postmortem dari jenazah korban tidak perlu didapat dari tulang yang prosesnya butuh waktu lebih lama.
“Ini kan (jenazah sebelum ditemukan) sudah terandam dua hari, sehingga darah dan cairan sudah rusak. Kita masih berusaha dari cairan, apakah keluar profil atau data DNA atau tidak,” tukas Prima.
Jika identifikasi melalui sidik jari, gigi, ekstraksi DNA dari darah dan cairan tak dapat dilakukan barulah Tim DVI berupaya mendapatkan data pembanding DNA postmortem dari tulang korban.
Tim DVI menyatakan dalam proses identifikasi yang terpenting merupakan adalah ketepatan bukan kecepatan, tujuannya agar jenazah yang diserahkan kepada pihak keluarga benar.
“Kalau tidak (mendapat DNA dari darah dan cairan korban) kita akan melanjutkan ke tulang. Itu lebih lama, karena ada proses dibersihkan dulu, dikeringkan, dihancurkan dan lain-lain,” ujar Prima. (Joesvicar Iqbal)