IPOL.ID – Vice President CANDU (CANadian Deuterium Uranium) Energy Atkins Realis, Todd Smith mengungkapkan, Kanada menggunakan reaktor CANDU. Bukan hanya untuk menghasilkan listrik tetapi juga menghasilkan isotop untuk medis.
“Kelebihan reaktor CANDU adalah memiliki kapasitas energi yang tinggi, dan sekaligus dapat memproduksi radioisotop,” ungkapnya. Penjelasan tersebut disampaikan Todd Smith saat mengunjungi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Kawasan Sains dan Teknologi (KST) B.J. Habibie Serpong Tangerang Selatan, melansir Minggu (29/9/2024).
Dia bersama delegasi Kedutaan Kanada berkesempatan mengunjungi KST BJ. Habibie, terkait penjajakan potensi kerja sama pemanfaatan teknologi reaktor nuklir di Indonesia.
Sementara itu, Senior Vice President CANDU Energy Atkins Realis Carl Marcotte menjelaskan cara kerja reaktor CANDU dan keistimewaannya. “CANDU kami rancang sendiri sebagai heavy reactor, dengan bahan bakar uranium alam,” ungkapnya.
“Setiap negara yang mengoperasikan CANDU dapat membuat bahan bakar mereka sendiri, tidak perlu impor. Kita membantu negara lain membuat dan membangun fasilitas manufaktur bahan bakar mereka sendiri,” tambah Marcotte.
Ia menuturkan, Kanada berkomitmen akan membantu dalam pembangunan fasilitas produksi air berat. Kemudian membantu membuat rantai pasokan yang diperlukan untuk operasi, dan pemeliharaan yang berkelanjutan.
“Reaktor CANDU mudah untuk dioperasikan. Komponen dan services yang digunakan dapat dilokalkan dengan mudah di negara mana pun di dunia, dengan keterampilan industri dasar,” imbuhnya.
Kepala Pusat Riset Teknologi Keselamatan, Metrologi, dan Mutu Nuklir (PRTKMMN) BRIN Heru Prasetio, mewakili Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir (ORTN) BRIN, menjelaskan peran BRIN, dalam rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia.
“Peran BRIN sebagai supporting dengan membantu menentukan teknologi yang sesuai. Hal ini didasari akan kebutuhan energi listrik yang berbeda-beda di Indonesia,” terangnya.
Menurut Heru, BRIN membantu memilih teknologi yang cocok untuk kebutuhan masing-masing wilayah. “Kita hanya bisa memberikan rekomendasi agar pimpinan bisa memilih teknologi yang sesuai,” lanjutnya.
Heru mengatakan BRIN terbuka kepada stakeholder asing yang ingin mengaplikasikan teknologi reaktornya di Indonesia.
“Siapapun yang ingin ketemu kita terima, dan saat kita diminta untuk memberikan pendapat kepada stakeholder di Indonesia. Kita bisa memberikan pendapat yang lebih fair, dan terbuka,” tandas Heru.
“Kita tidak menutup peluang teknologi lain masuk, kita terbuka untuk semuanya, karena kita tidak tahu teknologi mana yang terbaik dan cocok untuk wilayah di Indonesia. Harapannya di setiap wilayah Indonesia yang memiliki kebutuhan energi tinggi memiliki reaktor nuklir,” harap Heru.
Revitalisasi Reaktor Riset untuk Produksi Radioisotop
Reaktor CANDU merupakan salah satu teknologi reaktor yang dapat dipertimbangkan di Indonesi. Mengingat beberapa reaktor riset yang dimiliki Indonesia telah mengalami degradasi fungsi akibat usianya yang sudah cukup tua.
Kepala Pusat Riset Teknologi Reaktor Nuklir (PRTRN) BRIN Topan Setiadipura mengatakan, sejak 2021 BRIN memaksimalkan benefit dari reaktor riset yang dimiliki, sehingga dapat mempengaruhi pembangunan nasional.
“Kami mulai berpikir, apa yang bisa memberi dampak terbaik bagi negara. Kami menyimpulkan radioisotop sebagai salah satu prioritas terbaik, karena selama ini kami mengimpor sebagian besar radioisotop tersebut,” ungkapnya.
Menurut Topan jika Indonesia dapat memproduksi radioisotop sendiri, maka akan jauh lebih baik. BRIN harus merevitalisasi reaktor riset yang dimiliki sekarang, karena kondisinya sudah kurang maksimal. BRIN memiliki tiga reaktor riset dan akan merevitalisasinya untuk memproduksi radioisotop, karena 100% masih diimpor.
“Sebagian besar kami impor untuk medis dan beberapa untuk industri. Untuk medis kami mengimpor Teknesium, Iodium, kadang-kadang rumah sakit mengimpor Lutetium dari Australia,” pungkas Topan. (ahmad)