Mereka juga meminta telaah lebih lanjut dari Kementerian Perdagangan terkait dasar-dasar penerbitan peraturan tersebut, sembari menegaskan bahwa jika diskresi ini tidak diberikan, KTI akan mempertimbangkan langkah hukum untuk merevisi Permendag.
Dirinya mengatakan hampir 50 persen anak muda Indonesia telah mencoba thrifting, ini menandakan bahwa gaya hidup tersebut sudah menjadi tren populer di kalangan masyarakat.
Lebih lanjut, ia menyampaikan larangan impor pakaian bekas berdasarkan alasan merugikan industri tekstil nasional dianggap tidak tepat.
Pihaknya menilai bahwa penurunan kinerja sejumlah pabrikan pakaian disebabkan oleh masalah keuangan dan manajemen internal, bukan semata-mata akibat persaingan dengan produk thrifting.
KTI juga menyoroti anomali dalam kebijakan pemerintah yang mengizinkan impor alat-alat bekas seperti pesawat, kapal dan alat medis, tetapi melarang impor pakaian bekas yang tidak menimbulkan risiko besar bagi pengguna.
Mereka membandingkan kebijakan Indonesia dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Timor Leste yang justru memanfaatkan impor pakaian bekas sebagai sumber pendapatan negara. (*)