IPOL.ID – Ekonomi syariah akan digandengkan dengan ekonomi normatif yang sangat penting, hal ini pantas dikembangkan dan menuntut keterlibatan. Hal ini disampaikan oleh Rektor Universitas Paramadina Prof. Didik. J. Rachbini pada diskusi kerjasama INDEF, Universitas Paramadina dan UIN Jakarta yang mengusung tema “Prospek Kebijakan Pengembangan Ekonomi Keuangan Syariah di Era Prabowo” baru-baru ini.
Hakam Naja Anggota DPR RI 2014-2019/INDEF Associate juga mengkritisi ekonomi syariah secara umum, mengambil contoh adalah pelaksanaan ibadah haji di Indonesia. “Dalam hal ini ternyata untuk makanan itu yang banyak mendapatkan hasil adalah Thailand, Vietnam dan India. Posisi Indonesia bagaimana? Ini baru membicarakan lokal, belum skala internasional,” tannya Hakam.
Menurutnya Eksportir makanan terbesar ke negara OKI adalah Brazil sebagai yang pertama, Amerika, India, Rusia, baru Indonesia. “Maka dapat diambil kesimpulan bahwa di negara kita sendiri belum bisa dioptimalkan, apa lagi ke negara luar. Diharapkan saat pemerintahan baru dengan berbagai komponen halal dapat dinikmati oleh 282 juta penduduk Indonesia” tuturnya sebagaimana dalam siaran pers yang diterima redaksi,
Hakam melihat Malaysia selama 10 tahun membangun manajemen perekonomian syariah dan Malaysia dapat maju karena peran negaranya sendiri. Sedangkan perbankan syariah di Indonesia hanya ada pada 7%, sedangkan di Malaysia terdapat 40% perbankan syariah dengan maksimal 20 juta jiwa umat muslim. “Di Malaysia itu perekonomian syariahnya benar-benar hidup” tegas Hakam.
Narasumber selanjutnya, Handi Risza, Wakil Rektor Universitas Paramadina mengutip dari Global Islamic Ekonomi, bahwa sektor ekonomi Islam sangat menjanjikan karena pada tahun 2002 sudah mencapai US$ 2,29 atau tumbuh 9,5% YoY. “Karena sudah menjadi tren global, bahkan saya tidak bisa membayangkan jika yang menjadi pusatnya adalah Singapura atau bahkan China. Indonesia sebagai negara mayoritas Islam sudah seharusnya dijadikan modal atau role bagi ekonomi syariah yang dapat dijadikan role model perkembangan ekonomi global saat ini” tuturnya.
“Untuk keuangan kita berada dalam posisi ke-7, untuk perbankan posisi ke-10, asuransi ke-6, sukuk ke-3, dan dana syariah ke-9. Total aset keuangan syariah Indonesia pada tahun 2023 adalah Rp. 2.582,25 triliun” tegasnya.
“Sinergi dan interkoneksi ekosistem ekonomi syariah akan terkoneksi dengan bisa tumbuh, bahkan untuk haji dapat menjadi primadona” kata Handi.
Nur Hidayah, Guru Besar UIN Jakarta mengungkapkan bahwa saat kepemimpinan Jokowi – Maruf sektor perekonomian syariah berkembang dengan pesat dan mampu bersaing dalam skala global.
Menyinggung visi Prabowo yang berfokus pada pengembangan ekonomi syariah tidak hanya mendukung tetapi juga memperkuat langkah-langkah strategis yang dirancang untuk menempatkan Indonesia sebagai pemain kunci dalam industri halal global.
“Perlu memperhatikan peluang dan tantangan yang ada untuk mengembangkan ekonomi syariah secara lebih optimal, sehingga strategi yang diterapkan dapat berjalan dengan lebih efektif. Peningkatan daya saing di pasar global sangat penting, seperti yang diindikasikan dalam laporan SGIER (State of the Global Islamic Economy Report), untuk memastikan produk dan layanan halal Indonesia mampu bersaing dan mendominasi di panggung internasional” tegasnya.
Izzudin Al Farras Adha, Peneliti INDEF melihat ada perkembangan yang terjadi khususnya pada industri pasar modal syariah, perbankan syariah sangat drastis, kemudian industri non bank syariah. Walaupun aset terus meningkat, tetapi peringkatnya menurun.
“Artinya negara-negara lain jauh lebih cepat capaiannya, dan perlu ditingkatkan terus agar dapat bisa mengimbangi tidak seperti 5 tahun belakangan” kata Farras. (tim)