IPOL.ID – Terkait adanya isu tidak akan ada kenaikan tarif cukai rokok di Tahun 2025, Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), dan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) angkat bicara.
CISDI bersama PKJS-UI dan Komnas PT merespon bahwa rencana pembatalan itu akan menjadi suatu kemunduran dalam upaya perlindungan kesehatan publik. Setelah disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) No 28/2024 tentang Kesehatan (PP Kesehatan), khususnya pada pengamanan bahan zat adiktif.
Ketentuan dalam PP Kesehatan sebagai turunan Undang-Undang (UU) No. 17/2023 atau UU Kesehatan mengatur tentang pembatasan penjualan rokok eceran per batang, pembatasan iklan rokok, dan peringatan kesehatan pada iklan rokok.
PP ini juga tidak hanya mengatur peredaran produk tembakau tapi juga rokok elektronik, meningkatkan ukuran peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok, hingga melarang penjualan rokok kepada orang di bawah usia 21 tahun.
Rencana pemerintah untuk tidak menaikkan cukai rokok bakal menghambat berbagai upaya pengendalian rokok yang telah direncanakan dan memberi dampak negatif terhadap kondisi kesehatan masyarakat dan keuangan negara.
Koordinator Riset PKJS-UI, Risky Kusuma Hartono menyampaikan, keprihatinannya terhadap isu pembatalan ini. Kenaikan tarif cukai rokok merupakan alat paling efektif dalam mengurangi konsumsi rokok, merupakan faktor risiko utama dari berbagai penyakit tidak menular, seperti kanker, penyakit jantung, dan gangguan pernapasan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah secara tegas menyatakan bahwa menaikkan harga melalui kebijakan cukai adalah salah satu strategi pengendalian konsumsi rokok yang paling efektif.
“Indonesia saat ini menjadi salah satu negara yang memiliki prevalensi perokok tertinggi di dunia dan tanpa tindakan tegas, angka ini akan terus meningkat,” kata Risky di Jakarta, Kamis (26/9/2024).
Pihaknya juga menilai berdasarkan studi-studi PKJS-UI yang telah dilakukan bahwa faktor harga sangat berpengaruh terhadap keputusan seseorang untuk merokok. Studi PKJS-UI (2020) menunjukkan semakin mahal harga rokok maka semakin kecil peluang anak merokok.
Harga rokok murah juga menjadi faktor yang mendorong anak kambuh untuk merokok kembali/smoking relapse setelah pernah berhenti (PKJS-UI, 2023).
Di samping keterjangkauan oleh anak-anak, masyarakat prasejahtera juga masih mudah membeli rokok sehingga membuat mereka sulit berhenti dari adiksi rokok. Studi PKJS-UI lainnya menunjukkan setiap 1% kenaikan belanja rokok meningkatkan peluang terhadap kemiskinan sebesar 6 persen poin pada rumah tangga.
“Artinya, konsumsi rokok memiliki pengaruh besar terhadap garis kemiskinan,” imbuhnya.
Selain menjadi alat pengendalian konsumsi rokok, kenaikan tarif cukai ini juga dapat meningkatkan penerimaan negara yang dapat dialokasikan untuk program kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial. Dana dihasilkan dari cukai rokok dapat dimanfaatkan untuk memperkuat pelayanan kesehatan, terutama dalam penanganan penyakit diakibatkan rokok.
Sejalan dengan PKJS-UI, Hasbullah Thabrany selaku Ketua Komnas PT mengungkapkan, praktik baik dari negara-negara yang telah sukses menekan prevalensi perokok melalui instrumen cukai seharusnya bisa menjadi contoh.
“Mereka mengalokasikan pendapatan dari cukai tersebut untuk program-program pencegahan dan pengobatan penyakit terkait rokok,” jelas Hasbullah.
Sementara, Beladenta Amalia, Project Lead for Tobacco Control CISDI menambahkan, salah satu sasaran utama kebijakan cukai rokok ini adalah mengurangi akses generasi muda dan masyarakat prasejahtera terhadap rokok.
Banyak studi sudah menunjukkan efektivitas harga rokok yang lebih tinggi untuk menurunkan keterjangkauan rokok, khususnya pada generasi muda.
“Diharapkan generasi muda akan berpikir berulang kali sebelum memulai kebiasaan merokok. Tanpa kenaikan tarif cukai signifikan, kelompok rentan, termasuk generasi muda, akan semakin mudah mengakses produk ini dan memperburuk krisis kesehatan masyarakat yang ada,” ujar Amalia.
Riset CISDI (2021) menjelaskan konsumsi rokok memberi beban biaya kesehatan sebesar Rp17,9-27,7 triliun selama setahun pada 2019 akibat penyakit yang timbul dan berasosiasi dengan rokok.
Angka Rp17,9 hingga 27,7 triliun setara dengan 61,75% hingga 91,8% total defisit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 2019. Artinya, pemerintah masih perlu membuat rokok tidak terjangkau untuk menekan beban kesehatan yang masih begitu besar.
Ketiga organisasi ini mendesak pemerintah, terutama Kementerian Keuangan untuk menekan prevalensi perokok dan memutus rantai beban biaya kesehatan akibat rokok yang jelas merugikan masyarakat dan perekonomian nasional. Melalui kenaikan tarif CHT Tahun 2025 secara bertahap, dimulai dengan 25% di awal tahun, disesuaikan inflasi ditambah 10% pada tahun berikutnya.
Selain itu, untuk mengurangi aksesibilitas anak-anak terhadap murahnya harga rokok saat ini, direkomendasikan untuk dilakukan peningkatan Harga Jual Eceran (HJE) minimum dan penyederhanaan struktur tarif CHT menjadi 5 hingga 3 golongan sebelum Tahun 2029.
Serta mendekatkan tarif antar golongan untuk mempersempit peluang perokok memilih merek lebih murah. Kenaikan cukai itu mencakup semua produk tembakau, termasuk rokok elektronik dan tembakau iris, dengan kenaikan minimal 25% dan khusus untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT) di atas 5%. (Joesvicar Iqbal)