IPOL.ID – Sepuluh tahun kepemimpinan Presiden Republik Indonesia (RI), Joko Widodo (Jokowi) tinggal hitungan jari. Tak hanya menjadi perjalanan seorang pemimpin, tetapi juga cermin dari keinginan, kepuasan ataupun kekecewaan dan kemarahan rakyat banyak.
Di akhir masa jabatannya, survei LSI Denny JA menunjukkan tingkat kepuasan pada Jokowi masih sangat tinggi, mencapai 80,8 persen, sedangkan 18,5 persen menyuarakan ketidakpuasannya.
Esai ini mengurai bukan hanya angka, namun juga narasi yang kompleks tentang sebuah era penuh pencapaian sekaligus juga kritik.
Peneliti LSI Denny JA, Adjie Alfaraby mengungkapkan, survei terbaru menjelang selesainya masa jabatan Pak Jokowi memimpin selama 10 tahun, sebelum menyambut Presiden RI yang baru pada 20 Oktober 2024 mendatang, tingkat kepuasannya masih sangat tinggi di angka 80,8 persen menunjukkan mereka puas terhadap kerja Pak Jokowi.
Pertama, tingkat kepuasannya jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan akhir masa jabatan Pak SBY Tahun 2014. Kedua, jika dilihat dari data, hampir semua pemimpin dunia diakhir masa jabatannya, Pak Jokowi dengan angka 80,8 persen ini adalah angka yang sangat tinggi.
“Satu penutup yang bagus buat Pak Jokowi di akhir masa jabatannya selama 10 tahun memimpin,” kata Adjie di Kantor LSI Denny JA, Jakarta, Selasa (15/10/2024).
Approval rating pemimpin dunia, seperti yang dikutip dari Statista (Agustus 2024), yang tertinggi adalah Narenda Modi (India): 72 persen.
Tetapi tingkat kepuasan untuk Jokowi lebih tinggi dibandingkan Narenda Modi, apalagi pemimpin dunia lainnya.
“Ini akan dicatat sejarah sebagai sebuah pencapaian sangat tinggi bagi Jokowi,” ungkapnya.
Lebih jauh, diutarakan Adjie, menjadi tantangan ketika Pak Prabowo Subianto Presiden RI terpilih di 2024 dilantik nantinya mungkin 1 tahun ke depan, bagaimana Pak Prabowo menjaga performa pemerintahannya.
“Menjaga kinerja kabinet pemerintahannya selama 1 tahun ke depan akan menjadi ujian bagi Pak Prabowo,” ujarnya.
Sehingga dalam momentum termasuk juga ketika pemilihan terhadap menteri-menteri kabinet saat ini ketika nanti muncul diumumkan oleh Pak Prabowo harus memunculkan harapan yang tinggi.
Kabinet disusun Pak Prabowo harus menunjukkan bahwa ketika dilantik nanti maka kabinet ini performanya akan jauh lebih baik dari pemerintahan Pak Jokowi.
Kemudian bagi mereka yang tidak puas dengan Pak Jokowi selama 10 tahun memimpin itu berhubungan langsung dengan terkait kinerja Pak Jokowi ataupun personality Pak Jokowi.
“Jadi saya pikir itu dua hal yang berbeda. Artinya mereka yang tidak puas dengan Pak Jokowi belum tentu tidak puas dengan kinerja Pak Prabowo. Begitu sebaliknya mereka yang puas dengan kinerja Pak Jokowi belum tentu juga akan puas dengan kinerja Pak Prabowo,” imbuhnya.
Sehingga sekali lagi bahwa Pak Prabowo harus membuat jalannya sendiri membuat performa pemerintahan yang harus jauh lebih baik dari kinerja (kabinet) Pak Jokowi. Karena ekspektasi publik pun masih sangat tinggi kepada Pak Prabowo.
Untuk para calon menteri Pak Prabowo, menjadi satu pekerjaan rumah (Pr) yang besar, dan menurutnya, Pak Prabowo dalam berbagai kesempatan berpidato, Pak Prabowo selalu menekankan pentingnya pemerintahannya yang bersih, taat hukum dan lainnya.
Dalam pemilihan para menteri bukan hanya dilihat dari sisi aspirasi pada partai politik, atau kapasitas, pengalaman. Tetapi dari background, sisi integritas, treck record dari calon-calon menteri harus dilihat. Kemudian membuat publik bisa punya keyakinan bahwa Pak Prabowo akan lebih baik dari Pak Jokowi.
Timbul pertanyaan siapakah mereka yang puas? Siapakah populasi yang tak puas? Apa yang membuat mereka puas dan tak puas terhadap kinerja Pak Jokowi dan pemerintahannya?
Adjie menjelaskan, kepuasan dan ketidak-puasan publik ini mencerminkan apresiasi luas dan kekecewaan dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari yang berpendidikan rendah hingga tinggi. Ekonominya mapan hingga wong cilik, dari Gen Z hingga generasi baby boomers.
“Tapi setiap segmen pemilih memang memiliki gradasi dan perbedaan rasa puas dan tidak puas yang berbeda-beda”.
Kepuasan terhadap Jokowi berbeda-beda berdasarkan segmen agama. Kepuasan tertinggi muncul di kalangan pemilih beragama non-Islam, mencapai 93% persen, sedangkan pada pemilih muslim, kepuasan berada di angka 78,7 persen.
Di segmen usia, generasi muda (Gen Z) menyatakan kepuasan sebesar 85,9 persen, diikuti generasi milenial sebesar 81,8 persen. Di kelompok Gen X dan baby boomers, kepuasan tetap di atas 75 persen.
Perbedaan ini mencerminkan bagaimana Jokowi diapresiasi lintas generasi, namun dengan intensitas berbeda-beda.
Di segmen pendapatan, dukungan terbesar datang dari mereka yang berpenghasilan di bawah Rp2 juta per bulan. Mereka disebut wong cilik menyatakan kepuasan sebesar 83,3 persen.
Di kalangan ekonomi lebih mapan, kepuasan berada di angka 75,5 persen. Di segmen pendidikan, kepuasan tertinggi datang dari masyarakat berpendidikan rendah.
Mereka yang hanya tamat SD atau di bawahnya, 81 persen menyatakan puas. Namun, di kalangan terpelajar, kepuasan terhadap Jokowi menurun, hanya sebesar 72,4 persen.
Dukungan terhadap Jokowi juga merata di berbagai konstituen partai. Di kalangan pemilih Gerindra, 91,7 persen menyatakan puas. Pada pemilih PDIP, kepuasan berada di angka 87,9 persen. Di pemilih PKS, kepuasan mencapai 55,1 persen, meski ketidakpuasan juga tinggi, 44,9 persen.
Secara geografis, tingkat kepuasan terhadap Jokowi tersebar hampir merata di seluruh pulau di Indonesia.
Namun, mayoritas pemilih Anies Baswedan-Muhaimin, sebesar 57,6 persen, justru merasa tidak puas. Hal ini mencerminkan bagaimana pilihan politik di Pilpres 2024 berhubungan erat dengan tingkat kepuasan terhadap kepemimpinan Jokowi.
Datangnya ketidakpuasan terhadap kinerja Jokowi ditemukan lima alasan utama. Pertama, ketidakpuasan muncul dari mereka yang melihat kondisi nasional masih memprihatinkan dalam aspek ekonomi, politik, hukum, keamanan, dan sosial budaya.
Sebanyak 30,7 persen responden menilai ekonomi nasional buruk. Di aspek politik, 22,9 persen merasa kondisi belum memadai. Penegakan hukum, 29,1 persen merasa kecewa. Keamanan juga dinilai buruk oleh 10 persen responden, dan dalam sosial budaya, ketidakpuasan mencapai 5,8 persen.
Angka-angka ini menunjukkan bahwa sebagian kecil masyarakat merasakan kegagalan pemerintah dalam merespons berbagai tantangan bangsa.
Kedua, ketidakpuasan terkait karakter Jokowi. Sebanyak 16,1 persen yang mengenal Jokowi menyatakan tidak menyukai kepribadiannya.
Namun, mereka puas dengan kinerja Jokowi mayoritas menyukai karakternya. Sebanyak 83,9 persen menyatakan suka terhadap Jokowi.
“Ini membuktikan bahwa personalitas presiden turut memengaruhi penerimaan masyarakat terhadap kinerjanya,” tandasnya.
Ketiga, ketidakpuasan juga dipicu dari pandangan bahwa Jokowi belum berhasil menjalankan tugasnya sebagai Presiden. Sebanyak 20,8 persen menilai Jokowi tak berhasil. Di sisi lain, mereka merasa Jokowi berhasil mencapai 77,5 persen.
Keempat, ketidakpuasan mencuat dalam isu-isu sosial-ekonomi yang menyentuh lapisan bawah.
Sebanyak 63,1 persen tak puas dengan penyediaan lapangan kerja, 55,4 persen tak puas dengan penanganan kemiskinan, dan 54,2 persen menilai kesejahteraan petani, buruh, dan nelayan belum meningkat.
Kelima, protes soal demokrasi menjadi alasan terakhir. Indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan, menjadi “rapor merah” bagi Jokowi, menurut temuan dari Economist Intelligence Unit.
Mereka kecewa dengan demokrasi Indonesia juga cenderung tidak puas terhadap kinerja Jokowi. Tapi mereka puas melihat ada peningkatan di bidang ekonomi. Data Bank Dunia menunjukkan kenaikan indeks produk domestik bruto dan PDB per kapita.
Indeks kebebasan ekonomi dari lembaga Heritage Foundation dan Wall Street Journal juga mengalami peningkatan, begitu pula indeks kemajuan sosial dari Social Progress Imperative. Ketiga “rapor biru” ini membuat mereka terfokus pada ekonomi tetap puas.
Kini, di akhir dekade kepemimpinannya, Jokowi meninggalkan warisan penuh nuansa. (Joesvicar Iqbal/msb)
LSI Denny JA: Kepuasan Publik Atas Jokowi Termasuk Tertinggi di Dunia
