IPOL.ID – Industri pariwisata sudah menjadi sektor penting bagi masyarakat Indonesia, terutama di Pulau Bali. Meski begitu, maraknya kasus yang terjadi akibat banyaknya turis yang datang tentu merubah gaya hidup masyarakat Bali.
Termasuk adanya pelibatan anak-anak dalam pariwisata. Pelibatan anak-anak yang sudah termasuk ilegal di mata hukum ini diperparah dengan adanya kasus Child Sex Tourism (CST) yang dalam hal ini termasuk juga pedofilia hingga mengarah pada pelecehan anak di bawah umur.
Berdasarkan hal tersebut, empat mahasiswa Universitas Gadjah Mada dari berbagai macam disiplin ilmu tergabung dalam Tim Program Kreativitas Mahasiswa dengan bidang Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) Universitas Gadjah Mada (UGM) melakukan penelitian dan analisa secara langsung mengenai hal ini di Bali.
Keempat mahasiswa tersebut adalah I Ketut Aditya Prayoga dari jurusan pariwisata yang menganalisis peran pariwisata dalam memicu kasus CST di Bali. Sementara itu, Adit Surya mahasiswa jurusan hukum meneliti tentang viktimisasi atau proses timbulnya penyintas CST.
Selanjutnya, Putu Daryatti mahasiswa dari jurusan psikologi melakukan pengukuran terhadap trauma yang dialami penyintas baik secara psikis maupun fisik. Serta, Ni Luh Feby Riveranika mahasiswa dari jurusan sosiologi melakukan analisis proteksi yang dapat dilakukan Pentahelix pariwisata untuk meminimalisir, bahkan menghentikan kasus CST ini.
Pendampingan penelitian ini dilakukan oleh Fahmi Prihantoro yang memiliki ketertarikan dalam kebijakan pariwisata membantu tim PKM-RSH untuk menganalisis lebih dalam kasus CST mulai dari faktor timbulnya korban, trauma yang dialami penyintas, dan upaya-upaya proteksi yang dapat dilakukan untuk meminimalisir kasus ini kedepannya.
Hasilnya terdapat tiga bentuk viktimisasi CST yang dialami subjek yakni viktimisasi pedofil, tindak perdagangan dan penjualan orang, serta keikutsertaan anak dalam aplikasi MiChat. Viktimisasi yang terjadi disebabkan karena pretisipasi, gaya hidup, tempat sesaat, dan kegiatan rutin.
Ketut menuturkan, dalam proses viktimisasi ditemukan bagaimana proses sehingga anak-anak tersebut menjadi korban melalui riset dan wawancara. Dari mulai perolehan informasi tidak senonoh yang membawa mereka berhubungan dengan para turis, hingga adanya tindak pidana perdagangan orang.
Tim mengungkap bahwa alasan utama dari terjerumusnya anak-anak ini adalah kurangnya kepedulian dari orang tua. Adit mengatakan, anak-anak diberikan ponsel sedari kecil sehingga menjadi lebih bebas dalam mengakses informasi yang seharusnya tidak mereka dapatkan.
“Kita menemukan bahwa memang anak-anak ini dibawa ke arah seperti itu oleh orang tuanya, atas dasar kemiskinan, masalah-masalah ekonomi, pendidikan, dan sebagainya,” beber Adit, melansir Kamis (3/10/2024).
Sebenarnya, sudah ada undang-undang yang mengatur perlindungan anak di Indonesia mengenai bagaimana anak seharusnya dilindungi dari adanya kekerasan seksual, eksploitasi seksual, dan sebagainya. Namun, tim PKM-RSH mengungkapkan bahwa mereka masih merasa penegakan atas peraturan ini masih cukup rendah.
“Sejatinya karena eksploitasi seks ini mungkin dalam hukum dikenal dengan istilah aduan, jadi ketika tidak ada aduan, pemerintah itu tidak akan mengetahuinya,” tambah Adit.
Setelah melewati kurang lebih empat bulan proses penelitian, pada akhirnya didapatkan tiga penyintas CST sebagai subjek inti penelitian. Selain itu, terdapat Pentahelix pariwisata yakni pemerintah (dinas terkait), NGO, bisnis wisata, akademisi, dan media yang menjadi subjek.
“Kami menghubungi yayasan Gerasa Bali dan Lentera Anak Bali, ada beberapa anak yang statusnya masih terlibat. Cuma kami mengakses penyintasnya untuk menceritakan pengalaman mereka kepada kami,” ungkap Feby.
Terkait dampak traumatis, penyintas mengalaminya secara fisik yakni cedera serius yakni sayatan pada kaki hingga penyakit seks menular.
Sementara, efek traumatis lainnya menyerang psikologi penyintas yang mengalami mimpi distressing, kilas balik, pengindraan yang persisten terhadap stimulus, perubahan kognisi yang negatif, dan perubahan dalam reaktivitas. “Kami menganalisa menggunakan DSM-5 yang berfokus pada PTSD atau trauma yang mereka alami. Kami mendapatkan mereka itu memang mendapatkan trauma dalam beberapa bentuk,” imbuh Feby.
Mirisnya, orang tua korban juga belum sepenuhnya memahami terkait kejadian ini. Putu Daryatti mengatakan bahwa sang turis yang menjadi pelaku dianggap baik oleh orang tuanya sehingga tidak timbul kecurigaan.
“Jadi kayak dibiarin tuh anaknya waktu kecil, bawa aja nih main gitu. Terus orangtuanya dikasih uang, tapi kan orang tuanya nggak ngerti anaknya itu dibawa itu mau diapain,” katanya.
Selain berfokus pada kegiatan penelitian, Tim PKM-RSH CST Bali juga bersikeras untuk menyalurkan edukasi mengenai hal ini. Ketut menyebutkan bahwa salah satu luaran program mereka bertujuan untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat melalui medium yang lebih luas.
“Kami juga diminta untuk membuat beberapa media sosial untuk persebaran informasi. Mungkin bisa lihat akun media sosial Instagram, ada juga TikTok dan juga Twitter,” ungkapnya.
Berdasarkan hasil penelitian ini, tim mahasiswa UGM menekankan bahwa diperlukan seluruh peran berbagai pihak terutama keluarga dan juga termasuk Pentahelix pariwisata dalam menciptakan lingkungan yang protektif terhadap anak.
Lingkungan yang ramah akan anak-anak, demi mewujudkan pariwisata Bali yang berkelanjutan. “Bisa juga dengan cara memperkuat undang-undang perlindungan anak. Begitu juga dengan prakteknya. Dan kami rasa memang perlu banyak praktik langsung, turun langsung ke lapangan oleh pemerintah,” pungkas Adit. (ahmad)