IPOL.ID – Masih ada keraguan dari para aparat penegak hukum untuk menginformasikan restitusi sebagai salah satu hak korban tindak pidana.
Hal itu dikarenakan pelaku tindak pidana, khususnya dalam perkara kekerasan seksual, tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk membayar.
Demikian salah satu poin yang mengemuka pada hari pertama diskusi kelompok terpumpun bertajuk “Penguatan Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sinergi LPSK dan Aparat Penegak Hukum di Kalimantan Timur,” di Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), Rabu (16/10/2024).
Dalam diskusi itu, diketahui pula hak korban untuk mendapatkan restitusi belum secara gamblang disampaikan penegak hukum. Mereka takut akan dikejar-kejar pihak korban dan keluarga.
Dari sisi pemerintah daerah, mempertanyakan pula perkembangan pembahasan makenisme restitusi dan kompensasi sebagai turunan dari Undang-Undang (UU) No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Menanggapi keraguan itu, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Mahyudin mengatakan, dalam konteks restitusi, tidak semata melihat kemampuan ekonomi pelaku untuk membayar.
“Mampu atau tidak, pelaku dominan tidak akan mau bayar. Tapi tetap harus dihitungkan berapa kerugian korban. Karena ini bentuk bukan pemaaf bagi pelaku. Walaupun dijadikan hukuman tambahan, paling tidak, itu jadi beban psikologis pelaku bahwa dia ada hutang yang harus dibayar,” kata Mahyudin, Kamis (17/10/2024).
Menurut Mahyudin, dalam menghitung kerugian korban yang dituntutkan kepada pelaku (restitusi), terbagi dalam dua komponen, materiil dan immateriil. Kerugian immateriil, perhitungan sedikit berbeda antara perkara perdagangan orang dan kekerasan seksual.
“Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) lebih banyak pada hak-hak korban yang tidak dapat dibayarkan akibat peristiwa dialami. Pada TPKS, dihitung kebutuhan sebagai dampak dari penderitaan korban, seperti operasi alat reproduksi, maupun kebutuhan lain korban seperti untuk pendidikan dan lainnya,” ujarnya.
Sebelumnya, pada diskusi kelompok terpumpun itu, dihadiri mitra LPSK dari penegak hukum, seperti hakim pengadilan, kejaksaan, kepolisian, dan unsur pemerintah daerah. Saat membuka diskusi Wakil Ketua LPSK, Wawan Fahrudin mengingatkan pentingnya program perlindungan saksi dan korban berbasis komunitas.
“Program ini penting karena kejahatan terjadi dimana saja, bukan saja di Jakarta atau kota besar. Siapa saja bisa jadi korban. Hari ini mungkin orang lain, besok bisa jadi orang dekat kita atau bahkan kita sendiri yang berpotensi menjadi saksi dan korban tindak pidana,” imbuh Wawan.
Wawan menegaskan, masih adanya keterbatasan akses keadilan sehingga banyak korban yang belum mendapatkan perlindungan.
“Catatan kami baru 2 persen saja korban kejahatan di Kaltim (dari data kejahatan) yang perlindungannya dimohonkan ke LPSK,” ungkapnya.
Namun, Wawan meyakini, tanpa kehadiran LPSK para pemangku kepentingan di Kaltim tetap memberikan perlindungan bagi saksi dan korban.
Akan tetapi, lanjut dia, bersama-sama LPSK, perlindungan yang diberikan diharapkan bertambah kuat.
“Harapan kami bertambah kuat dan memberikan dampak maksimal bagi saksi dan korban,” pungkas Wawan. (Joesvicar Iqbal)