IPOL.ID – Wayne Holdsworth, seorang ayah yang juga aktivis mengampanyekan larangan bagi anak-anak Australia berusia di bawah 16 tahun untuk menggunakan media sosial (Medsos).
Dengan lirih Wayne memaparkan alasannya datang ke puluhan sekolah satu tahun terakhir ini. Dia bicara tentang putranya Mac, berusia 17 tahun, dan bunuh diri di rumah mereka di Melbourne setelah putus asa menghadapi predator di medsos.
“Saya ingin bicara tentang pengalaman saya dan anak saya Mac. Tentang fakta bahwa dia dianiaya secara seksual di dunia maya oleh seorang laki-laki berusia 47 tahun yang menyamar sebagai perempuan berusia 18 tahun. Saya ingin bicara tentang sextortion atau praktik pemerasan uang atau melakukan tindakan seksual dari seseorang, dengan mengancam akan mengungkapkan bukti aktivitas seksual mereka. Saya ingin bicara tentang bagaimana mencegah hal itu, memitigasi risiko agar tak diperas, karena saat ini siapa pun bisa masuk ke media sosial, ke dunia yang liar, bebas, tanpa hukum, wild-wild West,” ungkap Wayne dilansir VOA, Kamis (28/11/2024).
Awal kasus Mac dari perkenalannya dengan seorang laki-laki Sydney usia 47 tahun, sebelumnya mengaku sebagai perempuan berusia 15 tahun, di Snapchat dan kemudian di Instagram. Laki-laki itu mengirimi Mac foto telanjang keponakannya, dikira Mac sebagai foto asli orang yang berhubungan dengannya di Instagram.
Lalu laki-laki itu membujuk Mac untuk mengirim foto serupa. Beberapa hari setelah mengirim foto itu, baru laki-laki itu mengungkapkan jati dirinya dan mengancam akan menyebarluaskan foto Mac itu ke seluruh kontaknya di media sosial kecuali jika dia membayarnya US$500. Uang yang diminta predator itu terus bertambah, sehingga Mac putus asa dan memilih bunuh diri.
Sejak itu Wayne, ayah Mac, ganti haluan menjadi aktivis dengan datang ke sedikitnya 20 sekolah untuk memperingatkan para siswa tentang risiko menggunakan media sosial. Dia telah bicara pada lebih dari 10.000 orang.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Australia pada Rabu (27/11) meloloskan RUU yang akan melarang anak-anak di bawah usia 16 tahun untuk menggunakan medsos dan menyerahkan RUU itu kepada Senat untuk merampungkan Undang-Undang pertama di dunia ini.
Partai-partai besar mendukung RUU yang akan membuat platform-platform seperti TikTok, Facebook, Snapchat, Reddit, X, dan Instagram berpotensi dikenai denda hingga 50 juta dolar Australia atau sekitar 516 miliar rupiah atas kegagalan sistemik dalam mencegah anak-anak muda memiliki akun media sosial.
Undang-Undang itu disahkan dengan 102 suara setuju dan 13 suara menolak.
Kendati didukung banyak pihak, beberapa LSM dan aktivis hak-hak digital mengecam langkah DPR. Ketua “Digital Rights Watch” Lizzie O’Shea mengungkapkan, sangat menyadari risiko serius ditimbulkan platform media sosial, tapi tidak mendukung larangan tersebut.
“Saya adalah orangtua dari seorang anak kecil. Saya sangat sadar dan prihatin tentang bagaimana anak saya akan menjalani kehidupannya di ruang online. Saya sangat sadar akan bahayanya platform media sosial besar menjalankan model bisnis tertentu memprioritaskan ekstraksi dan eksploitasi data serta kerentanan terhadap kepentingan publik atau pembangunan komunitas dan perlindungan demokrasi,” ujar Lizzie.
“Saya lebih paham dibandingkan kebanyakan orang mengenai risiko itu. Tapi secara pribadi saya tidak mendukung pelarangan itu karena saya memahami keterbatasan dari kebijakan itu, dan banyak bukti tentang masalah dihadapi kaum muda yang dikecualikan dari dunia maya. Saya menilai ada kekhawatiran sangat besar tentang privasi, mungkin harus mereka lepaskan demi menerapkan kebijakan ini,” tambahnya.
Senada disampaikan anggota DPR dari kelompok independen, Kylea Tink. Dia mengatakan, sebagai seorang Ibu dari tiga orang dewasa muda. Dia sangat menyadari dampak negatif dari medsos dan tantangan mengasuh anak di dunia digital ini.
Namun, dia juga menyadari bahwa anak-anaknya juga adalah generasi digital dan sangat melek akan cara kerja platform-platform ini.
“Demi alasan-alasan ini saya mendorong semua orang yang terlibat dalam debat ini untuk memastikan bahwa mereka mendengarkan suara anak muda Australia dalam hal proses pengambilan keputusan, daripada berasumsi bahwa orang dewasa yang ada disini adalah paling tahu,” ucap Kylea.
Kylea termasuk di antara 13 anggota parlemen menentang RUU tersebut di DPR. Namun mereka kewalahan menghadapi 102 legislator yang mendukung kuat RUU tersebut.
Sementara, Wayne yang kehilangan putranya Mac akhir tahun lalu menambahkan, siapa pun yang mengatakan bahwa RUU ini bukan ide yang baik, maka dia belum pernah menjalani kehidupan sebagaimana dirinya, atau ratusan Ibu dan Ayah yang dia temui dalam delapan bulan terakhir, yang anak-anaknya diperas.
Sebagian bahkan diambil nyawanya juga. Elon Musk misalnya, bisa saja mengatakan dia tidak mendukung RUU ini.
“Dia (Elon Musk) belum berbicara dengan saya, karena begitu dia berbicara dengan saya dan mengetahui dalamnya kesedihan keluarga besar saya dan besarnya tekanan pada keluarga yang diteror medsos, maka dia mungkin mempunyai pandangan berbeda,” tandasnya.
Lebih dari 15.000 pengajuan tertulis diajukan pada DPR Australia setelah RUU yang melarang anak di bawah usia 16 tahun dibahas intensif sejak Senin (24/11/2024) lalu. Termasuk pengajuan disampaikan perusahaan-perusahaan teknologi raksasa.
Satu sisi lain, X Corp menjelaskan, kepada komite di DPR itu bahwa platform milik miliarder Elon Musk itu memiliki “keprihatinan serius tentang keabsahan RUU tersebut,” termasuk kesesuaiannya dengan Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.
“Tidak ada bukti bahwa melarang anak muda menggunakan media sosial akan berhasil dan menjadikannya Undang-Undang dalam bentuk diusulkan sangat bermasalah,” ungkap X.
Meta, yang memiliki Facebook dan Instagram menyatakan, RUU itu “tidak sesuai dengan apa yang dikatakan oleh para orangtua di Australia kepada kami, tentang cara sederhana dan efektif bagi mereka untuk mengatur kontrol dan mengelola pengalaman online anak remajanya”.
“Jika RUU tersebut menjadi UU pada minggu ini, platform-platform tersebut akan memiliki waktu satu tahun untuk memikirkan bagaimana menerapkan pembatasan usia sebelum hukuman dan denda mulai diberlakukan”. (Joesvicar Iqbal)